Pagi itu. tak  ada yang lebih menenangkan bagi saya,  dalam perjalanan.  Selain suara angin yang berdesir pelan.  Menyusuri jalan-jalan tol yang panjang dan sunyi. Dari Pasteur menuju Soroja, jalanan membentang bak nadi besar yang membawa kehidupan. Dan jangan salah, di ujungnya, Situ Cileunca menunggu.
Jean-Paul Sartre pernah berkata, "Kebebasan adalah apa yang kita lakukan dengan apa yang dilakukan terhadap kita." Di atas aspal itu, kebebasan mungkin tampak sebagai ilusi, tapi ia ada di setiap tarikan nafas dan di setiap belokan yang kami ambil. Rute perjalanan ini bukan hanya sekedar peta, tetapi sebuah garis hidup yang menuntun kita menuju keheningan air dan riak-riaknya yang meneduhkan.
Ketika kami sampai di pintu masuk menuju Situ Cileunca, suasana perlahan berubah. Suara gemuruh mobil tergantikan oleh bisikan alam: angin yang menerpa pepohonan, air sungai yang mengalir pelan, dan kecipak suara dayung yang menunggu disentuh. Di sinilah arung jeram dimulai, bukan dengan teriakan atau hiruk pikuk, tapi dengan persiapan batin yang tenang---karena kita tahu, sungai bukan hanya tentang air yang deras, melainkan tentang waktu yang bergerak perlahan.
Sungai, Menyongsong Diri Sendiri
Ketika perahu karet mulai menyentuh air, saya teringat pada sebuah percakapan antara Ernest Hemingway dan seorang pelaut tua dalam novelnya. "Laut adalah hidup kita," kata si pelaut, "tapi ia tak pernah milik kita."Â
Sungai di hadapan saya mungkin tak seganas lautan, tapi ia tetap misteri. Air yang kini mengalir tenang, menyisakan jejak-jejak kemarau yang panjang. Permukaan airnya surut, tidak seperti kisah-kisah petualangan yang dibumbui bahaya ekstrim. Namun, justru dalam kesederhanaannya, ada sebuah pelajaran yang terselip.
Tepian sungai menjulang seperti dinding-dinding sejarah, diukir oleh waktu dan air, dengan bentuk-bentuk yang tak pernah berulang. Lekukan dan guratan di dinding itu mengingatkan saya pada pahatan alam yang jauh lebih sempurna dari karya tangan manusia mana pun.Â
Di sana, ada goresan-goresan yang membentuk pola, yang diam-diam menyampaikan cerita ribuan tahun: tentang air yang perlahan mengikis kerasnya batu, tentang perjuangan tanpa henti yang meninggalkan jejak tak terhapuskan. Bukankah hidup kita juga demikian? Perlahan, namun pasti, setiap langkah dan setiap keputusan kita adalah ukiran---walaupun terlihat kecil, ia meninggalkan kesan mendalam, meski tak selalu kasatmata.
Saat kami mulai melaju di atas sungai, ada ketenangan yang aneh menyelubungi saya. Di sisi lain, ada rasa damai yang tak biasa, untuk sesaat, terlepas dari hiruk-pikuk dunia luar dan berbaur dengan aliran air di bawah kami. Bukan arus yang kuat atau deras, melainkan arus yang berjalan dengan ritme pelan, hampir tanpa suara---tapi penuh misteri.Â
Suara air yang menyentuh perahu, ritmis namun tak terduga, menyadarkan bahwa alam tak pernah bisa sepenuhnya dipahami. Di sinilah saya mulai merasa bahwa sungai bukan hanya tubuh air, melainkan sebuah jiwa yang menyimpan rahasia-rahasia yang dalam.
Terkadang, di sebuah perjalanan yang tampaknya sederhana seperti ini, kita dipaksa untuk menghadapi diri sendiri. Setiap percikan air yang mengenai kulit saya adalah sebuah isyarat, mengingatkan bahwa ketakutan, harapan, dan kegelisahan tidak pernah benar-benar hilang. Mereka, seperti arus bawah sungai ini, bergerak perlahan di bawah permukaan, menunggu untuk muncul di saat yang tak terduga. Ada perasaan rapuh yang muncul ketika saya menyadari betapa kecilnya saya di hadapan kekuatan alam yang tak terhingga ini---bahkan ketika airnya surut dan arusnya tak lagi mengancam.
Namun, disinilah letak pelajarannya: seringkali, kita menganggap bahwa yang harus dihadapi adalah gelombang besar, badai yang mengamuk, atau arus deras yang tak bisa dikendalikan. Padahal, justru dalam keheningan arus yang tenang ini, kita dipaksa untuk bertemu dengan diri kita sendiri. Arung jeram ini tidak lagi tentang menaklukkan sungai, melainkan tentang menaklukkan pikiran dan ketakutan yang datang dari dalam.Â
Saya teringat kata-kata seorang filsuf Yunani, Heraclitus, yang berkata, "Anda tidak bisa melangkah ke sungai yang sama dua kali, karena arus airnya selalu berubah." Mungkin, begitu pula dengan kita. Dalam setiap perjalanan, kita adalah orang yang berbeda---meskipun sungai yang kita lewati tampaknya tetap sama.
Seiring perjalanan yang melaju lebih jauh, saya mulai merasakan bahwa sungai ini adalah cerminan hidup itu sendiri: kadang lembut dan tenang, kadang membawa kejutan. Ada momen-momen di mana air menjadi lebih dangkal, dan kami harus mengangkat dayung kami, membiarkan perahu terhanyut perlahan. Di saat-saat itu, saya merasakan keheningan yang dalam.Â
Arus yang perlahan, tak terlihat, menyadarkan saya bahwa tidak semua hal harus dikendalikan. Terkadang, yang diperlukan hanyalah membiarkan diri kita mengikuti arus---bukan sebagai bentuk menyerah, tetapi sebagai bentuk penerimaan.
Perjalanan ini bukan tentang ketakutan akan apa yang akan datang, melainkan tentang keberanian untuk merasakan apa yang ada saat ini. Dinding-dinding sungai yang berukir indah itu menyimpan cerita tentang waktu yang berjalan tanpa henti, dan air yang mengalir adalah saksi bisu dari segala yang pernah dilalui. Saya mulai berpikir bahwa mungkin kita semua adalah bagian dari sungai ini---sebuah arus yang terus bergerak, beradaptasi, dan berubah.
Dalam perenungan ini, saya kembali teringat pada Lao Tzu, yang berkata bahwa air, dengan kelembutannya, bisa mengalahkan batu yang keras. Ini adalah pelajaran dari alam yang sering kita lupakan: bahwa kelembutan bukanlah tanda kelemahan, melainkan tanda kekuatan yang paling sejati.
Seperti air yang mampu meruntuhkan gunung dengan kesabaran, hidup juga meminta kita untuk bersabar dalam menghadapi kerasnya kenyataan. Bukan untuk menaklukkannya dengan kekerasan, tetapi untuk menghanyutkan setiap tantangan dengan ketenangan, seperti air yang melembutkan batu.
Ketika perjalanan di sungai ini hampir berakhir, saya menyadari bahwa pengalaman ini bukan sekadar petualangan fisik, tetapi lebih merupakan perjalanan batin. Sungai ini telah mengajarkan saya bahwa tidak semua yang tampak tenang itu mudah, dan tidak semua yang surut itu lemah. Di balik ketenangan permukaan air, terdapat arus psikologis yang terus mengalir, membawa kita menuju penemuan tentang diri kita sendiri---bahwa, pada akhirnya, sungai adalah cermin dari kehidupan kita yang terus mengalir dan berubah tanpa pernah benar-benar berhenti.
Akhir dari Sebuah Perjalanan
Saat perjalanan arung jeram kami usai, saya merasa ada sesuatu yang telah berubah. Bukan sungainya yang berubah---ia tetap mengalir, seperti biasa. Namun, cara saya memandangnya yang kini berbeda. Air, dalam segala kedamaian dan riak kecilnya. Â Mengajarkan bahwa dalam setiap perjalanan, yang kita cari bukanlah ujungnya, tetapi perjalanan itu sendiri. Kita semua adalah pengembara, yang mencari makna di antara aliran waktu.
Seperti pepatah kuno yang pernah dikutip oleh seorang penulis besar, "Anda tidak pernah bisa melangkah ke sungai yang sama dua kali, karena air yang sama takkan pernah mengalir lagi." Mungkin, dalam perjalanan menyusur Situ Cileunca ini, saya tidak menemukan jawaban atas semua pertanyaan hidup. Tapi setidaknya, saya pulang dengan sebuah pemahaman bahwa setiap perjalanan, sekecil apapun, selalu memiliki makna yang lebih besar dari yang tampak.
Keinginan Untuk Kembali
Ketika perahu kami  menyentuh daratan, saya sadar bahwa perjalanan ini belum selesai. Sungai ini, dengan segala ketenangan dan keringnya, telah menawarkan sebuah pelajaran, tapi itu hanyalah satu sisi dari cerita.Â
Ada sebuah kerinduan yang aneh untuk kembali, untuk menyaksikan Cileunca dalam wujudnya yang berbeda. Di musim penghujan, air akan bangkit, membawa arus yang lebih deras, dan suasana pun akan berubah. Namun, bukankah hidup juga seperti itu? Setiap fase dalam kehidupan, seperti musim yang berganti, menyimpan dinamika yang tak pernah sama.
Di musim penghujan nanti, saya ingin kembali ke sungai ini, bukan hanya untuk melihat bagaimana air yang penuh akan mengguncang ketenangan tepinya, tetapi untuk merasakan bagaimana diri saya, di bawah situasi yang berbeda, akan menghadapi arus yang baru. Arus yang lebih liar, mungkin. Deras dan tak terduga. Tapi, disitulah letak misterinya: seperti sungai, kita tidak pernah benar-benar tahu bagaimana kita akan bereaksi sampai kita berada di dalamnya.
Nietzsche pernah berkata, "Apa yang tidak membunuh kita, membuat kita lebih kuat."Â Mungkin sungai di musim penghujan akan menguji kita lebih keras, tapi saya percaya, setiap ujian hanya akan menambah kedalaman pemahaman kita. Sama seperti air hujan yang menyuburkan tanah, sungai yang meluap di musim penghujan adalah cerminan dari perlawanan, dari keberanian untuk menghadapi tantangan dengan keinginan untuk bertahan.
Sungai itu akan berubah, seperti halnya kita juga akan berubah. Tetapi yang pasti, saya akan kembali ke Cileunca. Di musim penghujan nanti, dengan air yang lebih deras dan arus yang lebih bising, saya akan kembali bukan untuk sekadar menaklukkan arung jeram, tetapi untuk menaklukkan ketakutan saya sendiri---dan mungkin, menemukan sisi lain dari diri yang selama ini tersembunyi.Â
Setiap perjalanan adalah cermin bagi jiwa, dan setiap sungai memiliki kisah yang belum selesai. Cileunca, dalam bentuknya yang baru, adalah janji dari alam bahwa selalu ada pelajaran yang berbeda di setiap musim. Dan saya, seperti seorang pengembara, akan kembali lagi untuk menemukannya.
Situ Cileunca, Kami ingin mencumbumu kembali...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H