Mohon tunggu...
Sri Sutrianti
Sri Sutrianti Mohon Tunggu... Guru - Guru IPA SMP

tertarik belajar menulis sebagai upaya ekspresif terapi.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Wayang Windu, Situ Cileunca Jadi Cerita

7 September 2024   13:15 Diperbarui: 13 September 2024   07:55 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Wisata Literasi SMPN 3 Lembang. Dok tim literasi

Di suatu pagi yang memeluk dingin, ketika matahari belum sepenuhnya berani menampakkan sinarnya, sekelompok guru dari SMPN 3 Lembang berdiri tegak di tengah udara yang lembab. Hari ini mereka datang ke sekolah bukan untuk mengajar.  Pengajar yang setiap harinya  tenggelam dalam tumpukan kertas dan suara siswa yang saling bersahutan di kelas. 

Hari itu, mereka adalah petualang yang hendak melukis pengalaman baru. Jam masih menunjukkan 05.30 ketika roda kendaraan berputar, membawa mereka menjauh dari hiruk-pikuk Lembang menuju sebuah petualangan yang belum begitu akrab mereka kenal. Ada sesuatu yang berbeda di pagi itu—sebuah perjalanan kecil yang mungkin akan melampaui fisik mereka.

Wayang Windu Panenjoan. Dokpri.
Wayang Windu Panenjoan. Dokpri.
Menyapa Alam dan Diamnya Perkebunan Teh
Wayang Windu, pada Sabtu pagi itu, tidak seperti biasanya. Alih-alih menyambut dengan kabut tipis yang membelai dedaunan teh, hari itu matahari terasa terik, seolah tak ingin memberi jeda. Langit yang biasanya menyimpan segurat kelabu, kini tampak bersih dan biru—terlalu terang, terlalu terbuka. Namun, anehnya, panas yang membakar kulit tak cukup untuk mengurangi pesona Wayang Windu. Hamparan hijau perkebunan teh tetap membentang bagai karpet alam yang tenang, jembatan gantung tetap menggantung di tengah alam, menunggu untuk dilalui. Para pengunjung, termasuk guru-guru yang datang hari itu, tampak tak terganggu. Mereka seakan menerima kehadiran terik itu sebagai bagian dari keindahan yang mereka cari.

Ada keindahan yang tidak bisa ditaklukkan oleh cuaca. Seperti kehidupan yang kadang terik dengan masalah dan tantangan, Wayang Windu Panenjoan tetap menawarkan kedamaian bagi siapa saja yang mau melihat lebih dalam. Matahari memang bisa menyengat, tapi mereka yang berhenti untuk menikmati pemandangan tahu bahwa keindahan tidak selalu datang dalam bentuk yang mudah. Kadang-kadang, kita harus menerima panas untuk benar-benar merasakan betapa berharganya sejuk. Di tengah panas itu, banyak yang memilih berhenti di tengah jembatan, membiarkan angin lembut yang jarang datang menyapu wajah mereka. Mereka memandang jauh ke depan, ke arah lembah dan pegunungan, seolah mencari jawaban yang mungkin hanya ditemukan dalam kebisuan alam. Panas tidak menghalangi mata yang terbuka, tidak menutupi keindahan yang menenangkan.

Keheningan di Wayang Windu hari itu berbeda—ia seperti keheningan yang dipenuhi rasa syukur. Bahwa meski panas menyengat, ada pemandangan yang mampu mengalahkan ketidaknyamanan. Panas hanya menjadi latar, sementara manusia terus mencari, menatap, dan merenung. Dalam setiap hembusan angin yang jarang, ada jeda kecil yang memberi pelajaran: bahwa dalam terik sekalipun, alam selalu punya cara untuk menunjukkan sisi lembutnya.


Menyusuri Arus Situ Cileunca

Ketika kaki kami  menjejak Situ Cileunca, suasana berubah. Perbincangan berubah menjadi canda gugup. Di hadapan kami, sungai berkelok, berbisik dengan riak-riak yang menyembunyikan jeram di kedalamannya. Ada di antara kami  yang tidak bisa berenang, ada pula yang takut dengan air yang bergerak liar. Tapi dalam ketakutan itu, keberanian mulai tumbuh perlahan—keberanian yang hanya bisa ditemukan dalam kebersamaan.
Dan ketika perahu pertama kali tersentak oleh arus, semuanya berubah. 

Sungai bukanlah lawan; ia adalah cermin. Arus yang bergelombang itu, dengan jeram yang menggoyang perahu, adalah gambaran dari ketidakpastian yang selalu ada dalam hidup. Jeram-jeram itu datang, tidak bisa dihindari, namun cara kita meresponsnya yang menentukan apakah kita akan bertahan atau terlempar.

Para pemandu arung jeram, memberikan instruksi. Suara mereka tegas, namun penuh  keyakinan yang menenangkan. "Air mungkin tak pernah peduli pada rasa takutmu," begitu kira-kira, "tapi kami di sini, mengawal setiap detiknya." Helm dan pelampung telah terpasang; para guru duduk di perahu karet yang bergerak lambat menuju arus yang lebih deras. Ketakutan kami tenggelam dalam arus. Harapan muncul di setiap jeram yang menanti.

Dan ketika perahu mulai melaju, arus sungai seakan menjadi penari yang tak bisa diduga gerakannya. Jerit dan tawa saling bercampur. Ada yang terdiam, menggengam dayung sekuat tenaga, berharap perahu tetap mengikuti alur. Namun, saat perahu itu melewati bebatuan yang menjulang, memutar di tengah arus, semuanya berubah. Ketakutan itu, yang awalnya seperti bayang-bayang di tepi sungai, kini memudar—ditelan oleh gelak tawa yang pecah di udara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun