Mohon tunggu...
Sri Sutrianti
Sri Sutrianti Mohon Tunggu... Guru - Guru IPA SMP

tertarik belajar menulis sebagai upaya ekspresif terapi.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Menyusuri Arus Kehidupan

7 September 2024   13:15 Diperbarui: 7 September 2024   13:18 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Wisata. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Di suatu pagi yang memeluk dingin, ketika matahari belum sepenuhnya berani menampakkan sinarnya, sekelompok guru dari SMPN 3 Lembang berdiri tegak di tengah udara yang lembab. Hari ini mereka datang ke sekolah bukan untuk mengajar.  Pengajar yang setiap harinya  tenggelam dalam tumpukan kertas dan suara siswa yang saling bersahutan di kelas. 

Hari itu, mereka adalah petualang yang hendak melukis pengalaman baru. Jam masih menunjukkan 05.30 ketika roda kendaraan berputar, membawa mereka menjauh dari hiruk-pikuk Lembang menuju sebuah petualangan yang belum begitu akrab mereka kenal. Ada sesuatu yang berbeda di pagi itu—sebuah perjalanan kecil yang mungkin akan melampaui fisik mereka.


Menyapa Kabut dan Diamnya Perkebunan Teh
Wayang Windu Panenjoan, pada pagi itu, adalah tempat di mana waktu seolah berhenti. Kabut yang menggantung di atas perkebunan teh bukanlah sekadar tirai alam; ia seperti selimut yang membalut pemikiran, mengundang setiap orang yang datang untuk diam, menyelam ke dalam keheningan.  Di sana, di tengah barisan teh yang melengkung mengikuti lekuk-lekuk bumi, rombongan turun dari kendaraan. Menghirup udara yang berbisik sunyi. Kabut masih bergelayut rendah, menyelimuti daun-daun teh yang basah. Saat itu, alam seperti hendak berbisik, menyampaikan sesuatu yang sukar diartikan.

Di kejauhan, jembatan gantung tampak membelah ruang hijau. Beberapa guru berjalan perlahan, menapak jembatan itu seolah ingin merasakan napas alam di bawah kaki mereka. Angin pagi yang ringan, menyentuh pipi-pipi yang sudah terlihat lipatan tipisnya. Mereka bercakap-cakap tentang keindahan, tentang apa yang belum terucap di hari-hari biasa.

Dalam diam, tempat ini berbicara. Setiap guratan tanah, setiap helai daun, setiap hembusan angin, adalah suara yang mengingatkan kita bahwa alam selalu lebih besar dari kita. Di Wayang Windu, manusia menjadi kecil, bukan karena ketakutan, tetapi karena kesadaran bahwa ada sesuatu yang lebih agung di luar batas pemahaman mereka.

Setelah menikmati secangkir kopi hangat  dan sedikit makanan kecil, Kami mengambil gambar,  memotret kebahagiaan. Wayang Windu Panenjoan merupakan satu persinggahan, namun bukan perhentian terakhir. Sebuah tantangan menunggu kami.  Menantang keberanian yang mungkin selama ini tersembunyi dalam tenang diri.


Menyusuri Arus Situ Cileunca

Ketika kaki kami  menjejak Situ Cileunca, suasana berubah. Perbincangan berubah menjadi canda gugup. Di hadapan kami, sungai berkelok, berbisik dengan riak-riak yang menyembunyikan jeram di kedalamannya. Ada di antara kami  yang tidak bisa berenang, ada pula yang takut dengan air yang bergerak liar. Tapi dalam ketakutan itu, keberanian mulai tumbuh perlahan—keberanian yang hanya bisa ditemukan dalam kebersamaan.
Dan ketika perahu pertama kali tersentak oleh arus, semuanya berubah. 

Sungai bukanlah lawan; ia adalah cermin. Arus yang bergelombang itu, dengan jeram yang menggoyang perahu, adalah gambaran dari ketidakpastian yang selalu ada dalam hidup. Jeram-jeram itu datang, tidak bisa dihindari, namun cara kita meresponsnya yang menentukan apakah kita akan bertahan atau terlempar.

Para pemandu arung jeram, memberikan instruksi. Suara mereka tegas, namun penuh  keyakinan yang menenangkan. "Air mungkin tak pernah peduli pada rasa takutmu," begitu kira-kira, "tapi kami di sini, mengawal setiap detiknya." Helm dan pelampung telah terpasang; para guru duduk di perahu karet yang bergerak lambat menuju arus yang lebih deras. Ketakutan kami tenggelam dalam arus. Harapan muncul di setiap jeram yang menanti.

Dan ketika perahu mulai melaju, arus sungai seakan menjadi penari yang tak bisa diduga gerakannya. Jerit dan tawa saling bercampur. Ada yang terdiam, menggengam dayung sekuat tenaga, berharap perahu tetap mengikuti alur. Namun, saat perahu itu melewati bebatuan yang menjulang, memutar di tengah arus, semuanya berubah. Ketakutan itu, yang awalnya seperti bayang-bayang di tepi sungai, kini memudar—ditelan oleh gelak tawa yang pecah di udara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun