Mohon tunggu...
Sri Sutrianti
Sri Sutrianti Mohon Tunggu... Guru - Guru IPA SMP

tertarik belajar menulis sebagai upaya ekspresif terapi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ritus Beluk dalam Perspektif Estetika Paradoks

26 Juni 2024   10:20 Diperbarui: 26 Juni 2024   10:27 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


                                                                                   youtube.com/Wildan RumahStudio

Di tengah arus globalisasi yang semakin kuat, memperkenalkan budaya yang merawat alam kepada generasi muda menjadi sangat penting untuk memperkuat akar budaya kita. Sangat miris ketika milenial apalagi Gen Z yang sudah tidak mempedulikan lagi seni budaya tradisi. 

Mereka lebih kenal budaya negeri orang.  Kepercayaan diri sebuah bangsa sangat erat kaitannya dengan kebanggaan dalam menjaga tradisi. Tradisi-tradisi seperti ritus Beluk bukan hanya warisan leluhur, tetapi juga cerminan hubungan harmonis antara manusia dan alam yang perlu diwariskan kepada anak cucu kita agar mereka tumbuh dengan kesadaran akan pentingnya menjaga lingkungan dan budaya kita.

Ritus Beluk adalah tradisi kuno masyarakat agraris, khususnya petani ladang. Pada awalnya, Beluk digunakan sebagai cara berkomunikasi antara petani di gubuk-gubuk yang berjauhan.  Menggunakan tembang dengan nada tinggi melengking  untuk menghindari binatang buas di hutan. 

Kini, di Ciapus, Kecamatan Banjaran, Kabupaten Bandung, tradisi ini masih dilestarikan. Ritus Beluk tidak hanya berfungsi sebagai sarana komunikasi, tetapi juga sebagai manifestasi hubungan harmonis antara manusia dan alam. Tradisi ini mencerminkan sistem kehidupan masyarakat yang dibangun dengan nilai-nilai keharmonisan dan saling ketergantungan antara manusia dan lingkungan.

PENDAHULUAN

Sejarah kebudayaan masyarakat pegunungan di Nusantara erat kaitannya dengan alam. Masyarakat ini membangun sistem hidup mereka dengan mempertahankan relasi yang kuat antara alam dan diri mereka sendiri. Bertani bukan hanya soal mencangkul dan menanam, tetapi juga mencakup penghormatan terhadap sistem alam yang terkait erat dengan keberadaan manusia. 

Mereka percaya bahwa alam semesta tidak hadir begitu saja tanpa pencipta atau pengaturnya. Keyakinan ini membutuhkan perenungan dan pengalaman hidup yang mendalam, yang kemudian diwujudkan dalam nilai-nilai budaya yang diwariskan dari generasi ke generasi. Di Ciapus, Banjaran, masyarakatnya masih menjaga ritus Beluk sebagai media untuk menghubungkan harapan dan kekuatan penentu melalui konsep keharmonisan alam.


RITUS BELUK DAN SENI PERSEMBAHAN

Ritus Beluk tidak dapat dipisahkan dari cerita atau narasinya yang tertuang dalam bentuk puisi atau pupuh dalam bahasa Sunda. Ada 17 jenis pupuh yang masing-masing menggambarkan tahapan kehidupan manusia dari lahir hingga kematian. Jenis-jenis pupuh tersebut meliputi:

  • Maskumambang: Menggambarkan  rasa prihatin  seorang ibu, terhadap janin dalam kandungan ibunya.
  • Mijil: Menggambarkan  kesedihan tapi penuh harap, menjelang kelahiran bayi.
  • Kinanthi: Menggambarkan kasih sayanag, kekhawatiran, tahap di mana anak dibimbing dalam menempuh kehidupan.
  • Sinom: Menggambarkan masa remaja  yang gembira, penuh cinta, di mana seseorang menimba ilmu.
  • Asmarandana: Menggambarkan rasa cinta pada seseorang.
  • Gambuh: Menggambarkan kesedihan dalam kondisi sulit. Mencari kesesuaian atau kecocokan dua orang yang akhirnya menikah.
  • Dandanggula: Menggambarkan kebahagiaan seseorang yang telah berkeluarga dan hidup berkecukupan.
  • Durma: Menggambarkan rasa berderma setelah mencapai kehidupan yang berkecukupan.
  • Pangkur: Menggambarkan penolakan terhadap nafsu angkara murka dan kepedulian terhadap orang lain.
  • Magatru: Menggambarkan kesedihan, penyesalan, akhir hidup seseorang yang kembali kepada Sang Pencipta.
  • Pucung: Menggambarkan perasaan kesal karena kehidupan yang tidak sejalan dengan keinginan.
  • Wirangrong: Menggambarkan orang yang sedang mengalami kesialan atau malu.
  • Lamban: Menggambarkan anak-anak yang bermain atau pembantu yang bersenang-senang.
  • Balakbak: Menggambarkan guyonan/komedi,  orang yang bergembira dan bersenang-senang.
  • Ladrang: Menggambarkan  sindiran untuk orang yang bersenang-senang.
  • Jurudemung: Menggambarkan seseorang dalam kebingungan tetapi tetap optimis.

Pupuh-pupuh ini tidak hanya sekadar teriakan berirama, tetapi sarat dengan nilai filosofis dan seni. Ritus Beluk dijadikan media doa. Baik untuk kelahiran, bercocok tanam, maupun panen raya. Kehidupan dimaknai sebagai realitas kosmis.  Di mana hubungan manusia dengan alam menjadi substansi utama. Anton Bakker dalam bukunya "Kosmologi Ekologi" menyatakan bahwa substansi harus berkorelasi, begitu pula aktivitas manusia yang harus terjadi dalam korelasi dengan alam.

NILAI ARTISTIK PADA SENI BELUK

Seni Beluk lahir dari masyarakat agraris yang hidup di tengah hutan. Kondisi ini membuat mereka harus saling menjaga satu sama lain, yang diwujudkan melalui tembang atau pupuh dengan nada tinggi tanpa alat musik. 

Selain aspek suara, seni Beluk juga mengandung unsur sastra yang dalam, dengan dasar filosofis terkait proses kehidupan. Seni Beluk juga termasuk seni sastra wawacan, yang artinya memberi tahu pada yang belum tahu, disajikan tanpa panggung dalam berbagai acara adat.

SISTEM RITUS SENI BELUK

Setiap upacara ritus memiliki tata cara yang diturunkan dari leluhur. Sebelum pertunjukan, persiapan sesajen menjadi keharusan untuk menghormati leluhur dan menyampaikan rasa syukur kepada Pencipta Semesta. 

Sesajen ini berisi makanan dan minuman yang disukai oleh leluhur saat masih hidup, menunjukkan rasa hormat dan keyakinan pada kekuatan yang lebih besar. Alat-alat kecantikan tradisional seperti sisir, cermin, minyak wangi, bedak, dan lain-lain juga digunakan sebagai bagian dari upacara adat untuk mengundang Nyi Pohaci (Dewi Padi) turun ke bumi guna menghadiri upacara yang memerlukan sentuhannya.

KESADARAN FUNGSI EKOLOGI DAN RITUS BELUK

Ritus Beluk menunjukkan kesadaran masyarakat Ciapus tentang pentingnya hubungan harmonis antara manusia dan alam. Para petani di Ciapus memahami fungsi alam sebagai habitat yang harus dimanfaatkan dengan bijak. 

Mereka tidak hanya menggunakan alam untuk keberlanjutan hidup, tetapi juga merenungkan dan menyikapi keterhubungan antara diri mereka dan alam sebagai bentuk keyakinan atas makna hidup. Kepercayaan pada pemilik alam dan roh-roh yang masih bisa berhubungan dengan kehidupan diwujudkan melalui media upacara ritus, seperti sesajen dan pupuh yang dinyanyikan.

FENOMENA NAMPAK DAN TIDAK NAMPAK DALAM RITUS BELUK

Ritus Beluk mencerminkan fenomena yang terlihat dan tidak terlihat dalam kehidupan. Upacara ini dilaksanakan dengan penuh keyakinan, menunjukkan hubungan antara realitas material dan spiritual. Estetika paradoks dalam Beluk menggambarkan bahwa seni adalah cahaya atas realitas, memberikan makna baru pada kehidupan sehari-hari. Seni ritus ini menjelaskan bahwa representasi kekuatan dari kuasa tunggal mentransformasi ke dalam bentuk-bentuk estetik dari komponen-komponen ritus Beluk.

PENUTUP

Upacara ritus Beluk adalah bentuk nilai budaya masyarakat agraris yang perlu dipertahankan dan dikembangkan. Nilai-nilai yang terkandung dalam ritus ini mengajarkan kita tentang hubungan harmonis antara manusia dan alam. Melalui pendekatan estetika paradoks, kita dapat memahami warisan budaya nenek moyang kita yang kaya akan makna.  Baik yang terlihat maupun yang tidak terlihat. 

Menjaga dan mengembangkan nilai-nilai budaya seperti ritus Beluk adalah tugas generasi penerus untuk menghormati dan melestarikan warisan nenek moyang kita. Dengan demikian, kita dapat terus menuliskan dan mengembangkan nilai-nilai budaya ritus di Nusantara dengan dasar pengembangan ilmu pengetahuan.

DAFTAR PUSTAKA

Anton Bakker: "Ontologi Metafisika Umum (filsafat pengada dan dasar-dasar kenyataan)", 1992, Penerbit KANISIUS (anggota IKAPI): Yogyakarta

Anton Bakker: "Kosmologi Ekologi (filsafat tentang kosmos sebagai rumah tangga manusia)", 1995, Penerbit KANISIUS (anggota IKAPI): Yogyakarta

David Kaplan: "Teori Budaya" (judul asli: The Theory of Culture, penerjemah: Landung Simatupang), 2000, PUSTAKA PELAJAR (anggota IKAPI): Yogyakarta

Donny Grahal Adian: "Fenomenologi", 2010, Penerbit Koekoesan: Depok

Jakob Sumardjo: "Filsafat Seni", 2000, Penerbit ITB: Bandung

Jakob Sumardjo: "Estetika Paradoks", 2006, SUNAN AMBU PRESS STSI BANDUNG: Bandung

Saini K.M.: "Taksonomi Seni", 2001, Penerbit STSI PRESS BANDUNG: Bandung

https://www.researchgate.net/publication/323786034_KESENIAN_BELUK_DI_DESA_CIAPUS_KECAMATA_BANJARAN_KABUPATE_BANDUNG

https://www.youtube.com/watch?v=YcsMhb3RwJs

Tulisan ini dikonversi dari tulisan yang sudah dipublikasikan  di:

Jurnal Budaya Nusantara " Nusantara dan Ritus" VOL. 5 n0.2 (Maret 2022):62-122, ISSN:2355-3367, e-ISSN:2597-8802

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun