Mohon tunggu...
Sri Sutrianti
Sri Sutrianti Mohon Tunggu... Guru - Guru IPA SMP

tertarik belajar menulis sebagai upaya ekspresif terapi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Puspa Nista

26 Juni 2024   09:00 Diperbarui: 26 Juni 2024   09:04 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku dan anakku bekerja mengejar waktu.  Tarian lembut tanganku meliuk dengan getaran cinta ditepi kain-kain, menata keindahan motif batik yang digandrungi orang-orang. Aku hampir tidak percaya dengan kemampuanku, ada getaran-getaran dan bisikan gaib terus mengalir dalam jari jemariku untuk terus melukis di atas kain batik itu. 

Angin pun tak segan-segan tertiup tipis di wajahku. Dan terbayang kembali tangan kanannya memegang tangan kananku, lalu aku mengikuti gerakan-gerakannya merambah belantara gambar-gambar, mencipta batik nan indah.

Tidak ada siapa-siapa lagi selain dia, anakku dan Aku. Aku tak peduli dia merajut hidupnya dengan yang lain, namun aku percaya dihatinya masih melekat antara aku dan dia. Dan itu kuasa. Aku tidak bisa membohongi diri sendiri, seandainya dia tiba kembali, cinta bersemi dalam hatiku.  Aku akan menyebutnya  "Ada cinta didadanya".

"Oh...aku merasa waktu tidak merubah apa-apa". Aku bergelut dalam hidup karena cinta. Aku tidak merasa dibohongi oleh perasaanku sendiri.  jika memang dia pergi bukan berarti kita harus ingkar diri menutup pintu dari pintu pertama yang dia buka. Aku bergeliat tubuh dengannya tak lain karenakedalaman cintaku. Hingga sekarang tumbuh menjadi buah hidupku.

Kembang-kembang dijalanan menumbuhkan semangat dalam irama putaran waktu yang berulang. Matahari dan rembulan menyapa bumi setiap kali aku berpijak dan menggetarkan perasaan yang kuat tentang "Makna Cinta". Disetiap langkah anakku, berjalan pula langkah kekasihku.

Waktu memang terus menyurut, menumbuk usia semakin larut. Namun cintaku membawa hidup walau berada ditempat-tempat sunyi. Aku terus menyulam kehidupan, karena semangatnya. Namun tangan-tangan terampil anakku, menggantikan kehangatan dalam jiwa ini. Setiap malam aku bekerja, pagi tiba aku kejalanan mencari uang-uang tambahan. Memang tidak mudah menggapai langit  cerah. Aku harus mengucurkan keringat diantara patahan-patahan langkahku.  

Di antara tangan-tanganku menggapai harap. Dari  perjalanan yang panjang ini, tak terasa anakku tumbuh besar nan cantik, terwariskan semangatku didadanya. Langkahnya seperti ayahnya saat memburuku dimalam persembunyian dulu. Begitupun tangannya yang terampil.

Langit itu kembali cerah, sinar matahari menembus disela-sela dinding dan ventilasi, orang-orang sibuk lalu lalang. Tampak wajah-wajah begitu tegang dan rusuh, seperti halnya aku dan anakku, mengempit kantong-kantong besar. Dadaku merasa sesak karena berat  kantong yang kubawa. Hal itu kulakukan setelah beralih usaha. 

Aku tidak lagi menjadi kondektur yang setiap hari bepergian jauh, sekarang cukup keliling dipasar-pasar atau terminal menjajakan kain-kain batik. Begitupun dengan anakku, kami kadang berpencar.

Kakiku terasa begitu kasar, bercak-bercak bekas luka ditumit terlihat begitu kontras dengan sandal. Debu jalanan dan suara orang-orang menawarkan barang dagangan. Hari itu cukup mengganggu kepalaku, kepalaku sangat sakit! Pusing. Mungkin karena hampir beberapa malam, tidak cukup baik untuk tidur.

Aku duduk sejenak disudut terminal.  Teman-temanku menyapa begitu saja, badanku berkeringat dingin, rasanya ada yang tidak enak dirasa, tubuhku bergetaran. Anakku bertanya:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun