Aku Andara, lebah pekerja yang mencintai ratunya, betapa terpaku menyaksikan peristiwa ini. Hatiku berdebar-debar.
Matahari telah sempurna memancarkan cahayanya, menyapa pohon-pohon dan dedaunan basah. Seluruhnya mengkilat basah, seperti tubuh perawan mandi di sungai. Bunga-bunga di taman tersenyum riang menyambut sepasang kekupu berkejaran. Sehabis hujan alam  menghadirkan keagungannya yang lain. Tapi di udara terbuka, angin tidak mendesir seperti biasa. seperti berduka dan menunggu sesuatu yang akan terjadi.
Sepasang kekasih, Kesatria Drones dan Bunda Ratu mulai terbang dari sarangnya. Terbang yang cukup aneh tidak seperti biasanya. Tubuh Kesatria sedikit menempel, digandeng  Bunda Ratu. Entah mengapa, aku merasakan sesuatu yang tidak nyaman melihat kemesraan ini. Aku dilahirkan dengan nasib tragis, tidak punya hak untuk mencintai. Tapi mengapa Tuhan menyelipkan rasa itu, samar-samar tumbuh di lubuk hatiku?Â
Aku diam-diam terbang mengikuti mereka.
Peristiwa sakral itu pun terjadi. Sesuatu yang mengaduk-aduk seluruh perasaanku. Aku tiba-tiba mendengar suara sayup-sayup dari kejauhan. "Masukanlah, sebelum tubuhmu terkapar" Mereka saling berhimpitan, bergulat dalam lengketnya getah kehidupan. Lalu pedang kejantanan Kesatria menusuk, memanggang gelembung itu. Tampaklah spektrum warna memburai keluar dari dalamnya, warna-warni yang semula lahir dari putih yang purba menjadi biru, kuning, dan merah. Terdengar suara pekikan saat tubuh Kesatria meluncur deras lalu hancur terbentur pada dinding batu di lereng bukit. Sambil terbang perlahan, Bunda Ratu terus menatap mayat Kesatria.
"Maafkan aku kekasih. Maut dan cinta ini memisahkan kita, karena itu kutukan yang tak pernah bisa kuhindari. Tapi berbahagialah di sana. Akan kulahirkan ribuan kau yang lain". ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H