"Katakan padaku. Andara. Apakah Bunda Ratu masih mau memilihku dan kawin denganku?" Kesatria bertanya dengan tatapan mata penuh keraguan.
Aku baru saja akan menjawab, saat tiba-tiba Bunda Ratu datang menghampiri. Langkahnya pelan penuh keanggunan. Bibirnya indah dengan senyum menawan. Aku segera mundur menjauh, memberi tempat pada Bunda Ratu.
"Hujan telah reda dan matahari akan segera bersinar," kata Bunda Ratu dengan suaranya yang khas, merdu dan indah. "Hari ini pohon-pohon akan berseri dan bunga-bunga mekar di taman. Mari kita terbang dan bercinta, Kesatira."
Kesatria beberapa lama terkesiap. Terdiam penuh keheranan, seolah tak percaya apa yang tadi didengarnya.
"Kau tahu, sayapku patah, Bunda Ratu. Bagaimana aku bisa terbang?"
"Tahukah kamu, Kesatria, sejak peristiwa itu, aku amat terpukul dan sedih saat tahu bahwa kau terluka dan sayapmu patah. Aku segera menyuruh beberapa pelayan untuk mengurusmu agar cepat sembuh."
"Bukankah masih banyak kesatria lain yang bisa kau pilih?"
"Tidak, sebuah perkawinan bukan hanya menyatukan dua alat kelamin kita, Kesatria. Tapi harus ada cinta. Kau telah berkorban untuku. Bagaimana aku bisa memilih kesatria lain sementara rasa itu telah bersemi di hatiku?" Suara Bunda Ratu bergetar dan dalam. Beberapa saat hening. Kesatria Satu yang sejak tadi menatapnya, tidak menjawab, kecuali memeluknya dengan erat. Aku melihat lembaran cahaya matahari pertama dari sela dedaunan menembus pungung mereka yang berpelukan.
"Tahukan kau Kesatria, bahwa ini adalah saat-saat terakhir bagimu? Kita akan bercinta dan kau tak akan pernah kembali ke tempat ini?" suara Bunda Ratu bergetar pilu.
"Ya, aku tahu, bagiku cinta adalah kematian. Itu takdirku. Tapi bagaimana aku bisa terbang dengan sayap patah?"
"Cinta akan memberi kekuatan. Marilah terbang, aku akan menggandengmu di udara!"