Hujan mulai reda. Aku lalu pergi ke bagian sarang lain tempat Kesatria Satu berbaring. Dia agak terperanjant melihat kedatanganku. Aku menatapnya beberapa lama.
"Ada apa Andara, kamu menatapku seperti itu? Menjauhlah dariku. Kini aku terbuang dan tersisihkan," katanya dengan suara parau.Â
"Aku ingin menghiburmu, Kesatria," sahutku pelan seraya mengelus kepalanya. Dia menatap dalam-dalam, tangannya lalu menggenggam tangku erat-erat.
"Terima kasih, Andara. Kau begitu baik," katanya setengah berbisik.
"Janganlah murung seperti ini, Kesatria. Aku tau, kau satu-satunya kesatria yang gagah berani melindungi Bunda Ratu, menjaga kami saat musuh datang mengancam."
"Aku sayang pada Bunda Ratu, Andara. Aku sayang pada kalian semua."
"Aku tahu itu. Cinta Kesatria begitu dalam pada Bunda Ratu hingga berani berkorban."
"Tapi kini aku terbuang, Andara. Bunda Ratu melupakanku saat sayapku telah patah."
"Bukankah itu perbuatan mulia? Berkorban demi Bunda Ratu hingga kau harus kehilangan satu sayap?"
"Entahlah...aku hanya tahu bahwa itu adalah tugasku melindungi Bunda Ratu. Dia harus selamat dari ancaman apapun, karena dialah yang akan melahirkan ribuan saudaramu yang lain!"
"Mulia sekali pikiranmu, Kesatria. Tuhan akan menolongmu!"