Mohon tunggu...
Sri Sutrianti
Sri Sutrianti Mohon Tunggu... Guru - Guru SMP

tertarik belajar menulis sebagai upaya ekspresif terapi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tragedi Lebah Ratu

11 Mei 2024   08:30 Diperbarui: 11 Mei 2024   08:34 263
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Namaku Andara. Demikian aku dipanggil. Kami memiliki nama sapaan masing-masng, sesuai bunga yang kami sukai. Aku paling sering menari-nari lalu hinggap di atas bunga Kaliandara kesukaanku. Sejak pagi hingga matahari senja menyepuh dedaunan dan bunga-bunga menjadi merah, aku bisa menghisap nektar dari ribuan bunga Kaliandara di hutan dan bukit-bukit. Betapa melelahkan, tapi juga menyenangkan. Inilah baktiku pada Bunda Ratu, juga pada seluruh rakyat koloniku. Sebagai rakyat pekerja, aku dan ribuan yang lain, harus banting tulang, terbang sejauh ribuan kilometer, mencari nektar dan serbuk sari.

Hujan baru saja turun amat deras disertai angin kencang. Pohon Kihiang besar tempat rumah kami bergayut bergetar diterpa angin. Untung sarang yang kami bangun cukup terlindung, di sebuah lubang di bawah pokok dahan rindang. Semestinya tempat ini aman dari gangguan. Tapi tidak demikian. Kami memang terlindung dari gangguan alam, tapi dari serangan manusia  tetap menjadi sasaran. Mereka para pemburu atau pencari kayu bakar di hutan selalu mencari-cari di mana sarang kami berada. Mereka begitu licik membawa racikan daun sirih, ditiupkan ke arah kami. Aroma daun sirih begitu sakit di kepala dan kami tak berdaya. Atau kadang mereka membawa obor mengepulkan asap ke arah kami. Ini lebih menakutkan. Saat kami menyingkir, terbang atau terbunuh, tangan mereka seperti drakula atau zombi, menyeringai dan tertawa terbahak mengambil lempengan sarang madu. Ya tentu sarang penuh madu yang kami simpan sebagai bekal sebelum tiba masa paceklik.      

Hujan masih deras, mengguyur pohon dan dedaunan.

Sepagi ini aku biasanya sudah terbang bertiga dengan Kenikir dan Dandelion. Kami  punya taman indah penuh bunga, tempat mengambil nektar dan serbuk sari. Tapi hujan kini menahan sayap kami untuk terbang. Mestinya aku bisa mengerjakan sesuatu, membersihkan sarang atau menjilati kaki dan punggung Bunda Ratu, agar dia lebih nyaman. Tapi itu tidak kulakukan. Aku malah asyik berbincang dengn Kenikir dan Dandelion, di bagian ujung sarang yang agak tenang.

"Aku kasian melihat Kesatria Drones Satu," kataku.

"Emangnya kenapa dia?" tanya Kenikir. 

"Akhir-akhir ini dia tampak murung dan gelisah."

"Aku tahu apa sebabnya," sela Dandelion.  

"Hmmm....kamu sok tahu! Eh, emang kenapa sih?" Kenikir makin penasaran.

"Dia paling gagah di antara dua puluh Kesatria Drones," sahutku.

"Dan aku tahu Bunda Ratu sepertinya suka dengan dia...hahaha," Dandelion tertawa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun