Kalau Anda berkunjung ke Perpustakaan Nasional Rebuplik Indonesia, sebagai perpustakaan terbesar di Indonesia , coba Anda ketik kata kunci'' Dompu'' saya pastikan Kalian akan sulit menemukan bahan bacaan tentang Dompu atau yang berhubung dengan Dompu.Â
Beda dengan daerah lain. Sekali ketik kata kunci, langsung keluar bahan bacaan yang berkaitan dengan daerah tersebut lebih dari Satu, Dua Bahkan banyak.Â
Kalau tentang dompu, kita tidak akan menemukan apa-apa.Atau di jogja, deh. Jogja itu punya perpustakaan besar. Sampai tahun 2017, kalau Anda mencari referensi atau tulisan tentang Dompu, maka jangan pernah berharap Anda akan menemukannya satupun.Â
Tidak ada satupun. Di took buku pun juga begitu. Kalau Bima, tetangga kita itu, saya pernah melihat setidaknya ada satu buku-di Toko Buku Social Agency yang berlokasi sebelum UIN sunan Kallijaga Yogyakarta kalau dari arah timur.
'' Lembo Ade''
Saya kira itu setidaknya lebih baik dari pada Dompu yang tidak punya sama sekali. Sebagai Orang Dompu, gusur juga saya. Bagaimana Dompu bisa eksis tanpa ada sumber bacaan yang memafdai?
Atau anda tidak perlu jauh-jauh ke Perpustakaan Nasional atau Perpustakaan Yogyakarta. Saran saya cobalah berkunjung ke perpustakaan Daerah Kabupaten Dompu. Coba Anda tanyakan ke perpustakaan yang ada di sana? Saya yakin jawabnnya tidak lebih dari 10 buku.Â
Eh terlalu banyak itu. Saya tidak yakin lebih dari 5 buku. Buku yang sudah ber-ISBN, maksudnya. Mencari bacaan atau buku yang berhubung dengan Dompu bak mencari jarum dalam sekam. Itupun ungkapan tersebut kurag tempat mengambarkan miskinnya bacaan tentang Dompu.Â
Kalau orang mencari jarum dalam sekam karena orang tersebut yakin dan optimis ia akan menemukan jarumnya, meskipun itu misi tersulit.Â
Sedangkan kalau kita mencari bacaan tentang Dompu, ya kita tidak akan menemukanya. Mengapa tidak ada? Ya, karena tidak ada yang menulisnya.Â
Mengapa tidak ada yang menulisnya? Saya kira Anda tahu jawabanya. Seseorang akan menulis suatu obyek kaena ada hal yang menarik dari obyek itu. Saya tidak mengatakan bahwa pada Dompu tidak ada hal yang menarik, loh. Tapi silakan Anda menilai sendiri.
"Kolom-Kolom untuk Dompuku"
Kalau mau jujur, Dompu kita miskin di beberapa aspek. Salah satunya adalah bacaan tentang daerah kita. Ada yang mencoba mengingatkan saya agar jangan terlalu Vulgar memberi kritik. Nanti ada yang tersinggung " Kita ini warga Nggahi Rawi Pahu.Â
Seharusnya kita mampu mewujudkan nilai sakral dari semboyan tersebut. Itu semua untuk kemajuan daerah yang kita cintaiini.Â
Jangan sampai kalimat" untuk kemajuan daerah Dompu" hanya sekedar menjadi lip service atau formalitas seperti kebanyakan pidato yang di bacakan oleh orang-orang di atas sana. It's not interesting listening to their talks because it's nothing to do with those rhetoric.
Mengapa Dompu mengalami krisis sumber bacaan? Saya setidaknya mengidentifikasi beberapa penyebab. Pertama, kurangnya rasa menjadi bagian dari daerah dan nihilnya kebangaan menjadi bagian dari Dompu.Â
Untuk menyederhanakan kalimat itu, saya meminjam istilah seorang Ph.D bahwa generasi Dompu mengalami krisis identitas. Mengapa bisa demikian?Â
Saya mau bertanya; pernah anda sejak SD sampai SMA di beritahuan sejarah da nasal usul Dompu yang komprehensif? Yang lengkap. Saya yakin jawaban sebagai besar Anda adalah tidak.
Untuk" Ngghi Rawi Pahu" Ku
Beberapa banyak orang Dompu dari yang kecil sampai tua, dari pejabat rakyat jelatan seperti saya, termaksuk yang keturunan bangsawan, yang mengetahui sejarah da nasal usul Dompu dengan jelas dan terperinci? Anda akan mendapati jumlah yang sangat sedikit sebagian besarnya tidak tahu.Â
Sekali lagi TIDAK TAHU. Itupun jumlah sedikit yang tahu belum tentu benar-benar memahami sejarah daerahnya.Â
Lantas kalau Anda bertanya kepada saya perihal sejarah Dompu, maka saya dengan cepat menjawab tidk tahu? Karena tidak pernah di beri tahu.Â
Dulu pernah ada pelajaran Muatan Lokal, tapi sebatas pada mempelajari aksara Mbojo. Itu pun gurunya juga tidak bisa. Hampir setiap Jam pelajaran, kami hanya disuruh mencatat isi buku sampai selesai jam pelajaran.Â
Sungguh capek. Mata pelajaran itu sudah lama hilang ditelan zaman. Saya tidak tahu mengapa pemkab Dompu menghilangkan mata pelajaran itu.
Kemudian muncul lagi pertanyaan; mengapa, kok, tidak di ajarkan sejarah Dompu? Saya pun tidak tahu-menahu. Tapi kalau saya boleh berasumsi bahwa hal tersebut disebabkan karena para pengambil kebijakan juga tidak mengetahui sejarah Dompu dengan jelas.
Krisis identitas ini tidak akan kita temui di sebagian besar daerah. Misalnya, Pulau jawa itu besar. Ada banyak daerah punya data yang jelas tentang sejarah dan asal usulnya.Â
Siswa-siswa di SD dengan bangga karena mengetahui sejarah berikut dengan pahlawan beserta cerita heroik dari daerahnya.Tidak usahlah saya sebut jogja.Â
Nanti saya dicap Jogja-sentris. Tapi FYI, di jogja ada mata pelajaran kebudayaan jogja( Jawa). Within there, anak-anak bisa belajar aksara dan sejarah daerahnya.
Kembali ke miskinnya sumber bacaan tentang Dompu. Bahwa, krisis identitasbtersebut, pantauan saya, berbanding lurus dengan ketidak beranian orang-orang Dompu menulis sejarah tentang Dompu.Â
Apa yang mau ditulis, wong, kita tidak tahu mana sejarah yang benar. Kalau pun ada satu atau dua orang, saya tidak yakin mereka akan benar-benar obyetif menulis itu.
Krisis identitas ini membuat sebagian orang juga menutup akalnya untuk bersikap obyektif dalam mempelajari dan mengulik sejarah dengan baik.Â
Krisis identitas ini membuat sebagian orang juga saling lempar tanggung jawab terkait siapa yang lebih berhak menelusurinya. Maka tidak kunjung di temukan sejarah itu.
Menjadi penulis( buku) di Dompu bukanlah hal yang mudah. Ada banyak orang yang memiliki potensi tersebut, tapi atmosfirnya yang tidak mendukung.
Atmosfirnya tidak senang melihat saudara sedaerahnya yang berkembang menjadi obstacle atau hambatan serius.Â
Seorang penulis asal Dompu yang saya kenal pernah mengeluh terkait aktivitas yang di lakoninya, "Na ngupa ku ncarana dibabu kaina ( akan selalu dicarikan cara untuk menjatukan (mencari kekurangan dari karya kita)", katanya.Â
Setiap mau menulis, ada saja sentimen negative yang dihadapinya. Itu kata teman penulis itu, sehingga dia kadang merasa minder. Lantas bagaimana saya bersikap?Â
Saya sama sekali tidak peduli dengan sentiment negatif itu. I do not fucking care about that. Sentimen negative inilah yang membuat sebagian orang Dompu yang memiliki potensi menulis tidak bergairah untuk menulis. Makin miskinlahbsumber bacaan tentang Dompu.
Sangat minimanya dukungan pemerintah. Sebenarnya saya tidak bergairah bicara tentang ini. Ini persoalan klasik. Sejauh ini, saya tidak pernah mendengar ada program pemkab Dompu untuk mendorong generasi Dompu menjadi penulis-sehingga bisa membagakan daerah.
Tidak ada. Tapi tolong kabarin saya kalau memeng ada. Di daerah lain, pemerintah yang justru ' menjemput bola' melihat bakat anak-anak yang ingin menjadi penulis.
Mengapa di Dompu tidak ada seperti itu? Saya tidak tahu. Tapi asumsi saya karena membina calon penulis tidak mendatangkan keuntungan. Kalau asumsi saya salah, tolong diluruskan. Saya berharap ini menjadi perhatian bagi pemerintah
Tolong ceritakan kepada kami sejarah detail dan obyektif, agar kami ini tambah bangga menjadi orang Dompu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H