Menjadi penulis( buku) di Dompu bukanlah hal yang mudah. Ada banyak orang yang memiliki potensi tersebut, tapi atmosfirnya yang tidak mendukung.
Atmosfirnya tidak senang melihat saudara sedaerahnya yang berkembang menjadi obstacle atau hambatan serius.Â
Seorang penulis asal Dompu yang saya kenal pernah mengeluh terkait aktivitas yang di lakoninya, "Na ngupa ku ncarana dibabu kaina ( akan selalu dicarikan cara untuk menjatukan (mencari kekurangan dari karya kita)", katanya.Â
Setiap mau menulis, ada saja sentimen negative yang dihadapinya. Itu kata teman penulis itu, sehingga dia kadang merasa minder. Lantas bagaimana saya bersikap?Â
Saya sama sekali tidak peduli dengan sentiment negatif itu. I do not fucking care about that. Sentimen negative inilah yang membuat sebagian orang Dompu yang memiliki potensi menulis tidak bergairah untuk menulis. Makin miskinlahbsumber bacaan tentang Dompu.
Sangat minimanya dukungan pemerintah. Sebenarnya saya tidak bergairah bicara tentang ini. Ini persoalan klasik. Sejauh ini, saya tidak pernah mendengar ada program pemkab Dompu untuk mendorong generasi Dompu menjadi penulis-sehingga bisa membagakan daerah.
Tidak ada. Tapi tolong kabarin saya kalau memeng ada. Di daerah lain, pemerintah yang justru ' menjemput bola' melihat bakat anak-anak yang ingin menjadi penulis.
Mengapa di Dompu tidak ada seperti itu? Saya tidak tahu. Tapi asumsi saya karena membina calon penulis tidak mendatangkan keuntungan. Kalau asumsi saya salah, tolong diluruskan. Saya berharap ini menjadi perhatian bagi pemerintah
Tolong ceritakan kepada kami sejarah detail dan obyektif, agar kami ini tambah bangga menjadi orang Dompu.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI