Mohon tunggu...
Sri Sundari
Sri Sundari Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Aphe dan Leon

1 Januari 2019   22:21 Diperbarui: 1 Januari 2019   22:51 145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sudah pagi lagi, suara cerocos minyak goreng di dapur membuat Aphe kesal. Dia masih ingin tidur nyenyak.

Apa yang paling tidak disukai Aphe adalah pagi,  karena harus bergulat dengan ngantuk, malas dan akhir-akhir ini ditambah dingin.  


Byuurrr...  


Aphe terperanjat dari bale bambunya, megap-megap sesak nafas karena air gayung yang dinginnya bak es balok itu mendarat di wajahnya.


"Bangun ngape Lu!" bentak emaknya sambil melotot.  "sudah siang ini Pe, kerjaanmu molor mulu.  Mau jadi apa Lu? Sana mandi!"


Aphe bersungut-sungut sambil menggulung sarungnya yang basah. Ngantuknya seketika hilang, berganti kekesalan yang membiasa setiap pagi.  


Tiba di sumur tidak untuk mandi, hanya membasahi wajah dan rambut rancungnya saja biar kelihatan segar. Namun tetap saja, parasnya kucel seperti handuk yang dia sandang di lehernya.  
Dia masih harus bersekolah, karena usianya dan karena emaknya. Walaupun kalau bisa, dia ingin memilih berhenti saja sekolah dan mulai mencari uang di lampu merah seperti teman-temannya.


"Cepat sana berangkat! Jangan melongo saja. Antar pisang goreng ini ke warung Bang Juki ...."


"Iya, Mak. Sarapan apaan Mak?" tanya Aphe sambil memakai sepatu usangnya yang sudah mulai sempit. Jempolnya sering merasa tidak nyaman karena ditekuk.


"Lu ambil aje pisang goreng dari situ, dua. Jangan banyak-banyak, awas Lu!"


Aphe menyambar keresek hitam berisi pisang goreng jualan emaknya lalu bergegas berangkat ke sekolah,  karena matahari sudah meninggi menaburkan sinarnya yang tidak pernah dia rasakan hangatnya dalam hawa sekitarnya. Kalau tidak menyengat, dingin menusuk. 


Sementara di rumah lain, pemandangan berbeda dari sejak subuh.  
Tepukan lembut tangan mamanya yang halus langsung membuat mata Leon terbuka. Guling empuk dan selimut tebal dia singkirkan, demi meraih tubuh wanita yang telah melahirkannya itu.  Leon memeluk ibunya,  yang hangatnya melebihi kehangatan guling dan selimut miliknya.  


"Eehh,  anak Mama kok manja banget. Ayo bangun,  berangkat sekolah nanti kesiangan."


"Sebentar lagi Mam, dingin."


"Wajar saja sayang, menurut berita hari ini posisi bumi sedang jauh dari matahari, makanya udara sedikit dingin. Tapi Mama sudah siapin air hangat di kamar mandi, kamu mandi dulu gih nanti kita sarapan sama-sama."  


Wanita paling lembut di mata Leon itu mencium kening Leon dan berlalu setelah menyaksikan anak kesayangannya beranjak dari tempat tidur.  


Di meja makan menu sarapan kumplit sudah tersaji,  tinggal memilih selera apa yang muncul pagi ini.  


"Selamat pagi Mam, Pap."


"Pagi sayang,  ayo sarapan. Jangan lupa minum susunya," kata papanya.

"Hari ini hasil ulangan Leon dibagikan lho, Mam, Pap," kata Leon bersemangat.

"Semoga hasilnya tetap membanggakan seperti biasanya ya, sayang." Mama Leon berujar lembut.

"Aamiin, Papa juga berharap begitu. Anak kebanggaan Papaaa... " timpal papanya sambil menepuk pundak kekar Leon.


Leon sekeluarga sarapan dengan penuh kehangatan,  melebihi hangatnya sinar mentari pagi yang sudah menerobos dari jendela kaca rumahnya.


Jam masuk kelas sudah berbunyi,  anak-anak SD Negeri itu berlarian masuk ke dalam kelas. Termasuk Aphe yang berjalan gontai dan Leon yang berlari gesit. Mereka sama-sama memasuki ruangan kelas empat di sekolah itu.  


Leon duduk paling depan, badannya yang sehat berisi  bersiap berdiri hendak menyapa guru manis yang memasuki kelasnya.


"Beri saaalam!"


"Assalamu alaikum Buuu ...." serentak kawan-kawan sekelasnya memberi salam.


"Wa alaikumssalam,  silahkan duduk Anak-anak.  Sesuai janji, hari ini Ibu akan membagikan hasil ulangan matematika kalian kemarin."


Murid-murid bersorak senang,  walau dalam hati semuanya merasa deg-degan karena dengan nilai itu ukuran otak mereka bisa diukur. Pandai atau belum, setidaknya menurut orang tuanya.


"Leonardo,  kamu mendapat nilai tertinggi. Ini ambil hasil ulanganmu."


Leon melangkah bangga maju ke depan, di iringi senyuman kagum teman-teman sekelasnya, kecuali Aphe. Cacing-cacing di perutnya mengalihkan konsentrasinya.
Pandangan matanya  jauh ke langit di luar kelas,  mengajak pendengarannya ikut serta sehingga ibu guru manis di kelasnya itu harus menyebut namanya tiga kali untuk membuyarkan lamunannya.  


"Aphe Surape,  kamu dengar Ibu?"


Kawan disebelahnya mencolek bahunya.  


"Oh iya, Bu."  


Aphe bergegas maju ke depan mengambil hasil ulangannya.


"Belajar yang rajin lagi ya Aphe,  nilaimu selalu terendah di kelas ini. Contoh tuh Leon," kata bu guru manis itu sambil melirik Leon yang duduk tepat di depan mejanya. 

 
Aphe mangangguk pelan lalu kembali menuju tempat duduknya, menjauhi tempat duduk Leon. Semakin jauh ke pojokan menciptakan hawa dingin kembali menyelimuti tubuhnya.  Bunyi keroncongan perutnya mewakili kata-katanya.  Dua buah pisang goreng tidak cukup menyogok gelembung-gelembung kosong di perutnya. Gelembung yang berisi hanya tertera di kertas hasil ulangannya, berisi gelembung juga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun