Hai, Kampung halamanku
Duh, yang lagi happy! Ikutan dong , ayo dibagi-bagi happynya jangan dipendam sendiri entar bisulen loh
Gimana? Apa kabar mereka yang kemarin telah berbondong-bondong datang padamu, pasti kamu terima banyak amplop dong, eh wisit ya kalau bahasamu, atau angpao untuk bahasa mereka. Udah deh, apapun namanya pasti itu  bikin kamu happy kan?
Suka ya, kalau orang-orang kota lagi pada datang, dengar-dengar mereka pada  sukses ya. Iya deh, aku ikut senang tapi yang belum sukses jangan lantas dicuekin, dong!
Wahai Kampung Halaman, sebenarnya siapa sih diantara mereka yang kemarin datang itu paling kamu suka, mereka yang sukses dengan bawa mobil mewah , atau mereka yang suka berbagi untukmu, atau yang  banyak membelanjakan uangnya untuk membeli oleh-oleh buatan wargamu, atau mereka yang pelit cuma pamerin harta doang,  numpang foto-fotoan doang berlatar belakang ke kampunganmu, namun masih buang sampah sembarangan, tangannya digenggam nggak mau berbagi, pelit.
Terus terang, Pung! Kamu itu sering nyebelin. Gimana nggak, dulu ketika aku sedang berpikir harus meninggalkanmu, karena memandang kesuksesan ada di tempat lain (nyatanya banyak orang berpikir begitu kan), Nah, justru orang-orang lain dari luaran sana yang melirikmu, menganggap engkaulah tempat sukses. Â Dan nyatanya benar, dia, dia, dan dia itu bener-bener sukses di pelukan kampung halamanku, padahal aku yang terlanjur meninggalkanmu. Â Jungkir-balik meraih sukses yang nyatanya zonk , padahal meninggalkanmu itu bukan hal yang mudah, Pung!
Karena kamu tahu sendiri kan, aku lahir, besar di sini , ibu bapakku dan kerabatku ada di sini juga, jadi begitu keluar darimu, akan banyak hal yang harus aku pelajari, aku memulai hal-hal baru, seperti kebiasaan, adat-istiadat , bahasa ( di luaran sana aku nggak bisa ber nggonem, omahem lagi), belum lagi aku harus menahan rindu, dan mengeluarkan biaya tiap tahun untuk mengunjungimu. Kamu sih cuma ketawa-ketiwi dong, Pung! Sebel . Kasih solusi atau apa gitu kek. Sampai akhir aku pulang lagi padamu. Dan kamu terbahak-bahak melihatnya.
Payah, kamu Pung halaman!
Kenapa nggak kau bikin aku sukses di sini aja, sih Pung! Seperti Mbak Santi yang sepuluh tahun yang lalu datang ke sini hanya mengontrak untuk jualan sembako, dan  sepuluh tahun kemudian dia sudah jadi juragan konfeksi, bahkan dia jadi orang terkaya di kampung kita.Â
Kamu nggak adil, ah Pung!