Ramadan kali ini aku memang tidak sering memasak, baik untuk berbuka maupun sahur sering kali membeli makanan matang. Karena kami hanya tinggal berdua bersama suami , sepertinya kalau memasak lebih banyak lebihnya dan itu mubazir, lebih baik beli masakan yang sudah jadi. Apalagi  memasuki Ramadan begini, banyak penjual makanan dadakan di pinggir-pinggir jalan atau orang keliling kampung menjajakan dagangannya.
Termasuk Bu Mina, seorang penjaja makanan untuk berbuka dari kampung sebelah, hampir setiap sore Bu Mina menjajakan dagangannya melewati rumahku. Aku cocok dengan masakan Bu Mina
"Kolak, botok-botok...."
Kalau orang lain menjajan jualannya dengan berteriak, Bu Mina suaranya pelan sekali, jadi kalau tidak sedang berada di depan rumah aku pasti terlewatkan .
Sore itu seperti biasa aku sedang menunggu Bu Mina untuk membeli lauk berbuka, namun sampai jam 5 sore Bu Mina belum juga muncul. Karena takut tak punya lauk buat berbuka yang tinggal beberapa menit lagi, aku putuskan untuk segera pergi ke warung makan tak jauh dari rumah., untuk membeli semangkok sayur bening beserta penyet ikan bakar.
Pulang dari membeli lauk, aku  bertemu Bu Mina di jalan. Beliau berjalan menunduk lesu dengan bakul yang dijinjing masih penuh makanan. Padahal batas orang membeli makanan berbuka hampir habis.
Karena sudah tak jauh dari rumah, Bu Mina aku suruh untuk menuju rumahku lebih dahulu. Aku akan  memebeli beberapa lauk untuk sahur nanti.
" Bu Mina kenapa terlambat...." sapaku begitu bu Mina menurunkan dagangannya dari keranjang yang berisi penuh aneka masakan dan gorengan. Yang biasanya membuat ibu-ibu di gang ini akan langsung keluar dan membeli, kali ini sepi sekali jadi hanya yang ada. Mungkin mereka sudah berbuka duluan.
" Maaf saya terlambat. Anak saya demam, Bu, dia rewel sedang bapaknya tadi belum pulang kerja..."
Belum selesai Bu Mirna bercerita, suara adzan maghrib pertanda saat berbuka puasa telah terdengar.
" Ibu puasa ?"
Tanyaku sambil menjulurkan segelas teh hangat yang sudah aku persiapkan untuk berbuka kami.
"Terima kasih, Bu Tian " Jawab Bu Nina sambil menerima gelas dan meminumnya.
Aku merasa kasihan sudah maghrib tetapi dagangan Bu Mina masih banyak, sepertinya belum laku sama sekali.
Aku sebenarnya mau membeli semua, tapi....
Belum sampai aku berpikir, Bu Mina sudah pamit hendak meneruskan keliling menjajakan dagangannya.
" Bu Mina, kenapa tidak pulang dulu. Atau ibu mau makan dan sholat dulu di sini.."
" Terima kasih, Bu Tian. Saya harus segera menjual ini semua. Karena saya butuh uang untuk membawa si kecil berobat "
Setelah memilih beberapa lauk, aku segera membayar. Karena Bu Tian menolak ajakku untuk sholat dan berbuka dulu di sini.
Bu Mina bergegas pergi, melewati gang yang sepi sekali, mungkin orang-orangnya sedang sibuk berbuka puasa di dalam rumah..
Ketika aku hendak masuk, menutup pintu untuk segera berwudhu untuk melaksanakan shalat mahgrib.
" Aggghhhhh..."
Suara lengkingan disertai suara benturan yang keras membuatku dan warga sekitar berlarian keluar.
Betapa kaget aku, melihat Bu Mina sudah  tergeletak bersimbah darah. Semua dagangannya berserakan pecah di jalan.
Sebuah mobil yang baru saja menabrak Bu Mina berlari kencang.
Orang-orang pada sibuk untuk menolong Bu Mina, namun darah dari kepalanya  terus mengucur. Semoga Bu Mina masih bisa bertahan sampai ke Rumah Sakit dan segera mendapat pertolongan.
Tak terasa air mataku mengalir, kenapa tadi aku yang sudah kepikiran untuk membeli gadangan Bu Mina aku kesampingkan. Kenapa tadi aku membiarkan Bu Mina pergi dalam keadaan lapar dan jalanan pun sudah gelap dan sepi.
Penyesalan memang datangnya sering terlambat.
Kalau kita punya niat baik segeralah untuk  dilaksanakan karena waktu tidak pernah bisa diputar kembali.
Salam hangat
Sri Subekti Astadi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H