Mohon tunggu...
Sri Subekti Astadi
Sri Subekti Astadi Mohon Tunggu... Administrasi - ibu rumah tangga, senang nulis, baca, dan fiksi

ibu rumah tangga.yang suka baca , nulis dan fiksi facebook : Sri Subekti Astadi https://www.facebook.com/srisubektiwarsan google+ https://plus.google.com/u/0/+SriSubektiAstadi246/posts website http://srisubektiastadi.blogspot.co.id/ https://www.instagram.com/srisubektiastadi/

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Sarung Pertama dan Terakhir Buat Cecep

14 Mei 2020   15:24 Diperbarui: 14 Mei 2020   15:35 627
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://sarunganakinstan.wordpress.com/

"Mak, aku ingin ke masjid seperti Wawan, Mak!" gunam Cecep pada emaknya yang sedang mencuci sayur kakung yang di dapat dari hasil mencari sisa-sisa di tempat sampah pasar yang tak jauh dari rumahnya.

"Boleh lah, Nak. Emak suka kalau Cecep mau ke Masjid , belajar ngaji dan belajar shalat bersama teman-teman" Jawab Mak Ijah dengan masih meneruskan pekerjaannya.

"Tapi Mak, temen-teman Ecep mekai sarung. Ecep tidak punya" Jawab Cecep yang baru berumur 7 tahun namun sudah pinter dengan belajar sendiri.

" Besok kalau emak ada duit, pasti emak belikan ya, Nak!  Sekarang pakai celanamu dulu untuk ke masjid, Emak sudah cuci bersih kemarin."

" Yang ke masjid memakai sarung semua, Mak. Encep malu kalau harus pakai celana kolor sendiri" balas Cecep dengan nadi lirih, karena takut membuat emaknya bersedih.

" Baiklah , Mak. Nanti sore Encep mau ke masjid dulu. Mak jangan lupa belikan Encep sarung kalau ada duit." Walau masih berumur 7  tahun Cecep sangat mengerti dengan keadaan emaknya, yang harus bekerja banting tulang sendiri untuk menghidupi mereka bertiga, mak, Cecep dan Tiur , adik Cecep yang baru berumur 4 tahun. Bapak Cecep sudah meninggal 3 tahun yang lalu. Karena terjatuh dari gedung yang sedang dibangun. Bapak Cecep yang bekerja sebagai kuli bangunan tidak menggunakan prosedur pengaman yang benar sehingga terjatuh dan meninggal dunia saat sedang bekerja.

Emak Ijah terus melanjutkan hidupnya di kota dengan bekerja sebagai buruh serabutan yang biasa disuruh bersih-besih dan memasak di tempat orang punya gawe. Mereka mengontrak rumah petak yang sempit, dekat dengan aliran sungai yang berseberangan dengan pasar.

Walau hidupnya pas-pasan,  Mak Ijah  memperhatikan soal pendidikan anak-anaknya. Cecep sekolah di SD Negeri yang tak jauh dari tempat tinggalnya.

Ramadan ini terasa sangat berat buat Mak Ijah  karena sudah hampir 3 bulan tak ada yang memakai tenaganya. Adanya pandemi hampir tidak ada orang punya gawe yang mengundangnya. Dan beberapa rumah gedong yang biasa menyuruhnya bersih-bersih halaman juga tidak ada lagi. Entah karena apa, atau mungkin mereka takut Mak Ijah membawa virus kalau masuk ke rumahnya.

Untung masih ada yang peduli.  Pak RT memberinya bantuan sembako dan beberapa ribu uang dari pemerintah, katanya. Namun semua itu tentu tidak bisa mencukupi kebutuhan hidup mereka bertiga. Bahkan sudah 4 bulan ini Tiur yang biasanya masih minum susu dengan dot pun diganti dengan air teh biasa. Mak Ijah  rajin ke pasar, siapa tahu ada yang mau menyuruhnya untuk mengangkat belanjaan atau mengantarkan belanjaan orang. Alhamdulilah 5000- 10.000 rupiah terkadang ia dapatkan buat nambah beli beras atau kebutuhan lainnya. Terkadang ia juga mendapat sayur-sayur yang sudah layu dan akan dibuang, ia pilihin yang sekiranya masih bisa dimakan untuk dibawa pulang. Kalau untuk ia sendiri, mak Ijah  tidak begitu memikirkan namun yang ia pikirkan adalah kedua anaknya yang masih kecil-kecil butuh makanan bergizi untuk pertumbuhannya.

Sebenarnya Mak Ijah sudah beberapa bulan yang lalu punya niat bahwa Ramadan tahun ini akan membelikan sarung Cecep yang pertama, biar Cecep bisa ke masjid bersama-temannya untuk mengaji, mendengerin ceramah dan buka puasa di masjid. Seperti teman-teman sepantarannya di kampung. Namun karena pekerjaannya macet  jarang ada yang menggunakan tenaganya, uang simpanan yang akan  digunakan untuk membeli sarung ikut kepakai buat mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari.

Sore itu Cecep pulang dari masjid dalam keadaan menangis, walaupun menangisnya tidak keras , namun mak tahu kalau ada yang membuat hatinya terluka. Mak pun segera memeluk Cecep, sambil menanyainya.

"Kenapa Ecep menangis ?"

"Encep diledekin disuruh memakai sarung dulu, kalau mau maju ke depan belajar ngaji . Encep ditarik-tarik teman-teman ketika ustad menyuruh Cecep maju menghafal surat Al-Ikhlas. Padahal  Encep sudah hapal, Mak. Tapi Encep tidak bisa maju. Jadi Encep pulang saja."

" Iya sudah sini Encep sayang, sini baca Al-Ikhlasnya di depan Mak saja , ya. Sekalian kita kirim berdoa buat bapak ."

Cecep pun segera menghapus airmatanya, dengan suara lantang dia membaca surat Al-Ikhlas keras-keras di hadapan emak dan adiknya, Tiur.

" Aamiin, semoga pahalanya juga buat bapak yang sudah di alam sana ya , Cecep anak sholeh kesayangan Emak dan bapak."

Wajah Cecep pun kembali cerah ceria, apalagi adzan Maghrib mulai terdengar pertanda buka puasa. Emak segera mengulurkan segelas teh hangat pada anaknya yang sudah berpuasa penuh sejak awal puasa tahun ini.

Mak Cecep berjanji dalam hati, besok dia akan berusaha keras mencari duit agar bisa membelikan sarung baru buat Cecep.

Pagi-pagi setelah sahur dan mengurus keperluan kedua anaknya, Mak Cecep segera keluar rumah. Dia akan mendatangi rumah bu Mardi yang biasa menyuruhnya membersihkan rumah dan halamannya, sudah 2 bulan lebih bu Mardi tidak menyuruhnya mungkin ini saat yang baik , siapa tahu bu Mardi butuh tenaganya.

Ternyata benar bu Mardi memang baru butuh tenaganya untuk bersih-bersih rumah serta halaman rumahnya yang lumayan luas.

" Kebetulan sekali , Mak.  Dari kemarin saya cari mak buat bantu bersih-bersih tapi mak tidak pernah kelihatan lewat." Begitu kata bu Wardi menyambut kedatangan Mak Ijah.

Setelah memberinya masker dan alat-alat kebersihan, bu Mardi memberi instruksi pekerjaan apa saja yang harus dilakukan mak Ijah hari itu. Mak Ijah begitu bersemangatnya mengerjakan semua perintah bu Mardi, karena dalam hatinya kepikiran akan mendapatkan duit buat beli sarung Cecep. Walau dalam keadaan berpuasa mak Cecep tidak sekali pun mengeluh dan bermalas-malasan. Semua dikerjakan dengan cepat sehingga saat adzan Dhuhur terdengar semua pekerjaannya suah selesai dengan baik.

Bu Mardi pun memberikan sejumlah uang, beras, mi dan beberapa pakaian yang masih baru pada mak Ijah. Betapa gembiranya setelah dia tahu kalau pakaian yang berikan itu ada selembar kain sarung kecil yang masih bagus. Mak Cecep berterimakasih banyak sambil meneteskkan air mata.

" Kenapa mak, kok malah menangis. Itu sarung cucu saya masih baru tapi dia tidak suka maunya yang motif lain. Daripada tidak dipakai biar pakai Cecep saja. "

" Saya bersyukur sekali,Bu. Karena dari kemarin Cecep minta sarung , saya tidak bisa membelikannya."

"Iya. Alhamdulillah semoga Cecep suka, dan jadi rajin ke Masjid".

" Terima kasih sekali, Bu. Saya pulang dulu ya.."

Mak Cecep segera pulang ke rumah, berharap Cecep sangat senang dengan sarung yang diberikan bu Mardi.

Sampai di gang masuk ke rumah kontrakannya ramai betul, semakin dekat dengan rumah semakin ramai ada mobil polisi dan ambulance juga di depan gang. Hati Mak Ijah  berdebar keras, ia ingat peristiwa kala suaminya jatuh dari tempat kerja dan meninggal dunia, situasinya persis seperti itu sekarang.  Rasanya tak sanggup lagi Mak Ijah  melangkah, kala melihat pintu masuk rumahnya penuh dengan orang.

" Ini ..emaknya sudah pulang" kata seseorang yang melihat kedatangannya.

" Ada apa ini.." Kata Mak Ijah  keras ketika melihat dua polisi membawa jenazah bocah masuk ke dalam rumahnya.

" Mak..tenangkan saja dulu, ya. Ini  Cecep dan Tiur tadi main di sungai dan Cecep tenggelam, kami terlambat menolongnya. Akhirnya tidak terselamatkan, hanya Tiur yang selamat sekarang masih di Rumah Sakit" Sahut seseorang yang mengetahui kalau itu orang tua dai anak yang tadi tenggelam,

Mak Ijah segera meletakkan  bungkusan berisi sarung buat Cecep dan membuka tubuh kecil yang telah terbujur kaku di balik kain kuning itu.

Demi yang dilihatnya, benar-benar Cecep anaknya, yang badannya sudah mneggelembung dan membiru, Mak Ijah menangis meraung-raung.

" Cecep..Cecep ini mak bawakan sarung buatmu, Nak. Kenapa kau diam, harusnya kau suka. Emak sudah berjanji akan membawakan kau sarung, Nak. Ini sarungnya.."

Mak Ijah terus meraung-raung walaupun bu RT dan tetangganya sudah menenangkannya. Dunia terasa beputar kepalanya ikut berputar-putar. Mak Ijah pun tidak sadarkan diri, karena sanggup  menerima kenyataan kehilangan anak laki-lakinya yang sangat disayanginya. Ternyata suaminya minta ditemani Cecep. Sarung itu kini menjadi pembungkus jenazah Cecep yang terakhir kali.

Kudus, 14 Mei 2020

Salam hangat,

Dinda Pertiwi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun