Sudah sebulan ini saya berkeliling dari sekolah ke sekolah, sanggar-sanggar seni dan juga komunitas pecinta kebudayaan. Namun hasilnya nihil. Padahal kami tidak akan menjualnya, hanya menitipkan dan silakan dipergunakan.
Rupanya sudah sulit menemukan orang yang bener-bener mencintai kesenian Jawa, khususnya memainkan gamelan.
****
Malam ini menjadi  malam terakhir kami tinggal disini, sebagian barang-barang sudah dipindah ke rumah kontrakan yang baru. Hanya tinggal gamelan dan barang-barang di kamarku yang belum terangkut.
Mataku tak bisa terpejam, rasanya aku tidak rela meninggalkan rumah tempat aku lahir, tumbuh dan menikah disini. Seribu kenangan tersimpan di rumah ini. Memang rumah ini sudah dibilang tidak laik huni, banyak kayu, jendela, pintu yang sudah lapuk. Beberapa genting di bagian belakang juga sudah lepas, kalau hujan air membanjiri ruang belakang rumah ini.
Dulu pada waktu aku masih kecil, rumah ini termasuk yang bagus diantara rumah tetangga kami. Sudah berdinding tembok dengan lantai ubin yang  hitam berkilau, dan berjendela lebar. Bahkan bagian depan yang knockdown dari kayu, jadi bisa dilepas bila sedang ada hajatan atau perkumpulan di rumah kami. Karena rumah kami termasuk paling luas halamannya di kampung ini, hampir segala macam kegiatan di kampung sering diadakan di rumah ini.
Selain menjadi perangkat desa,  bapak  mengajar kerawitan ( memainkan alat musik  tradisional Jawa / gamelan) kepada siapa saja yang mau belajar, tanpa dipungut bayaran. Hanya sekali tempo bila diadakan bancaan,  mereka membawa makanan apa saja yang dia punya untuk dimakan bersama.
Kadang-kadang bapak memang diundang untuk pentas mengiringi tarian Jawa, atau tembang-tembang Jawa di tempat orang hajatan, atau acara-acara formal lainnya. Namun bertambahnya waktu, gendhing-gendhing Jawa dan suara gamelan semakin kurang diminati. Mereka lebih memilih orgen tunggal atau suara tape hasil rekaman, daripada suara gamelan asli yang dinilai ribet dan  ketinggalan jaman.
Sejak kecil, bapak sudah mengenalkan padaku bagaimana cara memainkan gendang, peking, demung, saron, bonang, kenong, gong dan slenthem. Sambil nembang Khinanti, Pangkur, Pucung atau Dhandanggula.
Namun aku kurang begitu telaten, sehingga tidak begitu mahir seperti bapak. Apalagi kesibukanku sekolah mulai banyak menyita waktu , sehingga berlatih kerawitan bersama bapak semakin berkurang. Bahkan sering tidak sempat sama sekali. Namun bapak begitu sabar mengajarkan pada kami, hingga dinilai kami bisa memainkan satu persatu alat musik gamelan.
"Yen ora kowe sing neruske terus sopo meneh, Nduk" Begitu permintaan bapak pada waktu itu. Bila aku malas belajar kerawitan.