Senang sekali melihat Indonesia bisa memperoleh banyak medali emas, melebihi target. Terutama emas dari cabang Pecak Silat yang menjapai banyak  medali emas.
Pencak Silat, merupakan olah raga bela diri yang mengingatkanku pada Bapak, iya bapakku Almarhum. Rasanya pencak silat melekat sekali pada Bapak. Hampir sehari-hari Almarhum bapak bergulat dengan pencak silat.
Tiba ingatanku, saat kami masih kanak-kanak setiap malam sehabis maghrib kami harus berlatih pencak silat dahulu sebelum, dilanjutkan makan malam belajar dan tidur.
Setiap malam minggu, rumah kami penuh dengan pemuda-pemudi yang akan berlatih Pencak silat, sehingga bapak membuat ruang tamu kami sangat lapang, agar bisa di gunakan latihan. Namun bila hari masih pagi, atau sore latihan di adakan di halaman kebun belakang rumah.
Pencak Silat yang Bapak  ajarkan adalah pencak silat warisan dari leluhur kami, tepatnya dari Mbah Sunan Muria, di atas gunung Muria. Oleh sebab itu Bapak menamakan Padepokan Silat SK Muria, yang sering memenangkan pertandingan pada era tahun 80 an.
Bapakku, adalah orang yang sangat teguh pendirian dan sangat mencintai budaya Jawa, saking cintanya, bapak tidak suka kalau kami menyanyi atau menghafal lagu yang berbahasa Asing. Setiap malam sebelum tidur, kami diajarkan nembang Jawa, entah itu Pucung, Maskumambang, maupun Sinom.Â
Kami harus menghafalnya. Namun sayang, karena belum menyadari, saya justru merasa tertekan, dan kurang suka. ( sekarang nyesel juga ). Walaupun tetap saja harus menghafal tembang-tembang maupun dongeng bahasa Jawa, setiap hari.
Kembali ke Pencak Silat. Karena cintanya pada Pencak Silat dan ingin mengembangkan olah raga ini, Bapak rela menghabiskan waktu, di luar jam kerja beliau untuk mengajarkai Pencak Silat ke berbagai pelosok selain yang di rumah sendiri. Bapak juga menjabat sebagai ketua IPSI Kudus waktu itu.
Saat musim kompetisi, rumah kami jadi semacam basscamp, ramai sekali. Berpuluh-puluh orang tidur di rumah, walau hanya menggelar tikar di tempat latihan. Untuk konsumsi dan sebagainya bapak juga menyediakan gratis, walau mereka yang berasal dari gunung membawa berbagai hasil panen mereka. Senang sekali kebersamaan dalam kesederhanaan waktu itu.
Saat ini Bapak sudah meninggal, sepuluh tahun yang lalu. Saya tak tahu lagi apakah masih tetap ada yang mengembangkan Pencak Silat dari Bapak, dengan Padepokan SK Murianya, karena murid-murid bapak tersebar , tak terpantau kemana saja.
Aku sendiri, terlalu banyak alasan untuk tetap berlatih bersama Bapak , jadi hanya menguasai jurus-jurus dasar saja. Ah...andai waktu bisa diulang, ingin rasanya aku berlatih Pencak Silat dengan baik, dari Bapak yang sangat disiplin dalam melatih.
Doaku selalu tak pernah putus buat Almarhum Bapak. Beliaulah bapak yang sangat mencintai anak-anaknya. Sangat mencintai tanah airnya, budayanya dan negaranya.
Bapaklah, sangat dekat dengan kami, mengikuti setiap jengkal langkah kami. Menyayangi kami, dan selalu berusaha menjadikan kami berkepribadian, cinta tanah air, mencintai budaya kami dan selalu memikirkan kami.
Sampai saat kami kehilangan Bapak, rasanya benar-benar sedih tak bisa berjumpa lagi dengan Bapak. Bersyukur kami semua anak-anaknya dapat mengantarkan Bapak ketika Bapak menghadap kembali kepada-Nya.
Maafkan anak-anakmu Bapak, tak bisa terus melanjutkan perjuanganmu di bidang Pencak Silat.
Kudus, 1 September 2018.
Salam hangat selalu
Dinda Pertiwi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H