"Buatkan aku selarik puisi, Mak ! " Pintamu sambil menyerutup kopi, pagi tadi.
Huzzztt...enak aja kau suruh-suruh, mana bisa aku membariskan kata-kata menjadi serupa tentara. Yang rapi tersusun dan enak dibaca
masaku berpuisi telah lewat, sejak tak ada lagi  melati dan secangkir susu murni.
huruf demi huruf yang tertimpa jemariku, sungguh tak lagi bisa tereja, apalagi dibilang bermakna.
Kegundahanku tak lagi bisa terbaca, Â walau abjad demi abjad telah sebisa mungkin kumantra...
dan akhirnya....ku hapus lagi, lagi, lagi, lagi dan lagi.....
Hingga seorang penyair ditemukan telah gantung diri, tepat pada kata yang sering diabadikannya
di telapak kakinya mengempal surat wasiat buat pemuja puisinya.
" Wahai pemujaku , lihatlah ! ...ini akibat kau terlalu menyanjungku
Menempatkan aku di ujung hatimu, di lidahmu, dan di ujung uratmu
Hingga aku terhempas bagai sampah. Tanpa seorang pun bersedia memungutku
Aku jadi gembel, diantara para penyair berjas dan berdasi,
Anehnya lagi, jangan mereka mau berbagi sisa nasi padaku, ludah yang menghujam kulitku pun dihisapnya lagi.Â
Jadi buat apa....buat apa ...aku terus begini.
Ijinkan aku untuk mengakhiri semua pemujaku'
Kuburkan jasadku pada nurani kalian, tulisi nisanku dengan satu kata yang pernah kujadikan idola,
Jangan menangis pemujaku, tak lama lagi kita kan bersua..
Leyapkan aku...lenyapkan aku sekarang! Sekarang!"
Dan orang-orang pun bergerombol saling menuding, saling membully , saling mencaci hingga mereka tak menyadari bahwa aku adalah mereka.
Bukan puisi bukan fiksi lagi
Walau mereka menamai hari ini adalah Hari Puisi
Kudus, 26 Juli 2018
Salam Puisi,
Dinda Pertiwi
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI