Suatu sore sambal melipat baju yang tadinya berada dalam tas pakaian suaminya, Imoeng bertanya pada suaminya.
“ Ini baju siapa Pak..”
“ Mana…oh itu baju teman yang tercampur waktu dicucikan di mess kali..”
“ Kalau bapak gak punya hubungan apa-apa kok bisa ya…baju ini masuk besama pakaian-pakaian bapak “ gunam Imoeng lirih, namun masih terdengar oleh suaminya.
“ Emang kenapa Bu…salah sendiri kamu bertahun-tahun tak mau aku ajak pindah ke sini “
“ Dan sekarang aku sudah di sini, kenapa bapak masih tega…melanjutkan hubungan itu..percuma aku jauh-jauh pindah ke sini Pak..”
“ Sudahlah Bu…gak usah mempersoalkan itu, yang penting di sini kamu harus focus mengumpulkan uang buat membayar hutang-hutangmu yang di Jawa..”
Seru Sofian mengalihkan permasalahannya. Imoeng hanya bisa memendam kecewa dan air mata, namun bagaimana pun ia harus kuat, karena sudah terlanjur melangkah di bumi Borneo apapun harus bisa diatasi sendiri.
Setelah itu Imoeng tak ingin memikirkan lagi apapun kelakuan suaminya. Dia hanya focus untuk membuat aneka makanan yang sekiranya bisa laku dijual di masyarakat sekitar. Yang penting baginya agar segera bisa pulang ke Kudus untuk menggambil anak bungsunya dan anaknya nomer 2 agar bisa kumpul bersama di Kalimantan semua. Selain itu setiap bulan sedikit demi sedikit dia bisa mengirim uang ke saudaranya yang di Kudus, untuk menyicil hutang-hutangnya.
Keripik dan rempeyek buatan Imoeng sudah makin banyak dikenal orang, sehingga setiap hari dia harus menambah dagangannya. Ayuk, bocah kelas 3 SD itu juga rajin membantu ibunya setiap pulang sekolah. Untuk mengantarkan pesanan-pesanan ke toko dan warung di sekitarnya. Ataupun membukus rempeyek-rempeyek itu.
Imoeng yang cekatan melihat peluang yang besar untuk mengembangkan usahanya. Walaupun hanya berjualan keripik dan rempeyek namun hasilnya sangat bagus, sehingga Imoeng ingin mengembangkan usahanya dengan membuat toko sendiri.