Dari atas kapal Ayuk bisa melihat bapaknya yang sudah melambai-lambaikan tangan menyambut kedatangan Ayuk dan ibunya.
Bahagia rasanya akan berjumpa dengan bapaknya, dan akan berkumpul kembali dengan bapaknya membuat rasa pusing akibat mabuk laut, hilang seketika.
Begitu kapal berhenti tepat di bibir pelabuhan dan sauh pun telah ditambatkan, tangga turun untuk penumpang pun diturunkan. Para penumpang dengan sabar menanti giliran untuk turun, ada juga yang berebut untuk naik, para poter yang akan membawakan barang-barang bawaan penumpang.
“ Kita sabar aja Yuk...gak usah ikut berdesak-desakkan, toh nanti kita akan turun juga...jangan lupa baca Basmalah dan Al-Fatekhah waktu menginjakkan kaki pertama kali di tanah Boerneo ya...”
“ Iya...Mak, Ayuk selalu mengingatnya...”
Tak lama kemudian giliran mereka untuk turun kapal pun tiba.
Di bawah tangga penumpang Sofian sudah menunggu anak dan istrinya. Setelah mengucapkan syukur Alhamdulillah dan membaca Fathekah mereka saling berpelukkan.
BAB I.
Sofian sudah menyiapkan rumah kontrakan untuk anak istrinya, yang tak jauh dari kantor tempatnya bekerja. Mereka menempati rumah kayu yang terletak di bibir sungai , bahkan di bawah rumah berupa air rawa-rawa. Sebuah rumah di kampung nelayan yang agak kumuh. Gang-gang antar rumah berupa kayu yang sudah rusuh dan banyak lobang di sana sini. Bila tak hati-hati berjalan bisa terjebur di air rawa yang kotor dan penuh sampah.
Ayuk yang tidak biasa tinggal di kampung nelayan, walau agak kecewa karena rumah yang ada dalam bayangan dia adalah rumah berdinding seperti rumahnya di Jawa. Tapi tak apalah, yang penting harus bisa menyesuaikan lingkungan dahulu, terutama bahasa yang sekarang sangat berbeda dengan bahasa mereka sehari-hari di Jawa. Hal ini menjadikan Ayuk banyak diam saja sambil memperhatikan kawan-kawannya bertutur. Sedikit demi sedikit Ayuk mulai memahami bahasa teman-temannya, bahasa Banjar.