Mohon tunggu...
Sri Subekti Astadi
Sri Subekti Astadi Mohon Tunggu... Administrasi - ibu rumah tangga, senang nulis, baca, dan fiksi

ibu rumah tangga.yang suka baca , nulis dan fiksi facebook : Sri Subekti Astadi https://www.facebook.com/srisubektiwarsan google+ https://plus.google.com/u/0/+SriSubektiAstadi246/posts website http://srisubektiastadi.blogspot.co.id/ https://www.instagram.com/srisubektiastadi/

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ranjang Pengantin untuk Suamiku

5 Oktober 2014   05:17 Diperbarui: 4 November 2017   14:47 211
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Rapat keluarga di ruang Jogosatru baru saja usai, Rapat yang dihadiri oleh keluarga besar Dipadiharja telah memutuskan bahwa Mas Hernowo, suamiku harus segera menikah lagi. Suamiku harus menikah lagi, karena waktu yang telah diberikan kepada kami untuk mempunyai keturunan setelah pernikahan kami tak kunjung membuahkan hasil. Walaupun kami sudah berusaha dengan berbagai cara, baik dengan pemerikasaan medis yang lengkap maupun menuruti berbagai saran dari keluarga dan kerabat. Yaa....aku belum juga hamil, walaupun dokter tak menemukan sesuatu keanehan dan penyakit dalam rahimku. Sedangkan keluarga besar Dipadiharja sudah sangat menanti akan datangnya keturunan dari  Mas Hernowo, sebagai anak laki-laki satu-satunya di keluarga  besar Dipadiharja. Keluarga Dipadiharja yang merupakan keluarga besar yang mempunyai beberapa usaha di bidang industri Rokok Kretek dan Pengolahan Gula tebu dan Batik khas Kudus. Untuk meneruskan dan melestarikan usaha pada generasi keluarga besar Dipadiharja, Mas Hernowo harus mempunyai keturunan terutama laki-laki, karena dari semua saudaranya Mas Hernowo adalah anak laki satu-satunya. Walaupun Mbah Dipadiharja mempunyai 3 orang istri. Tetapi dari semua istrinya tidak ada yang mempunyai anak laki-laki, kecuali ibu dari Mas Hernowo  sebagai istri ke tiga yang melahirkan anak laki-laki, yaitu Mas Hernowo. Ini sudah menjadi konsekuensiku menjadi istri Mas Hernowo, karena sebelum kami menikah saya sudah dijelaskan terlebih dahulu dalam suatu rapat keluarga besar Dipadiharja ini. Bahwa kami harus mempunyai keturunan terutama laki-laki dan kami diberi waktu selam 8 tahun untuk mengusahakannya. Selama 8 tahun waktu yang sangat melelahkan bagi kami.  Aku dan Mas Hernowo selalu berburu dokter dan perawatan lainnya untuk mendapatkan keturunan. Dan inilah hasilnya. Aku harus merelakan suamiku untuk menikah lagi demi untuk memperoleh keturunan.

*********

"Sebenarnya saya tidak bisa menerima keputusan ini Jeng...." kata Mas Hernowo ketika kami sudah berada di kamar berdua. Aku hanya bisa diam memandang ujung tiang soko yang sebagian ada di dalam kamar kami. Hatiku yang sudah kuatur bertahun-tahun lamanya seolah porak poranda lagi.

"Dari awal aku mencintai Jeng...bukan karena rahimmu..aku sangat mencintaimu seutuhnya Jeng " aku masih membiarkan Mas Hernowo bicara sendiri karena pikiran ku melayang pada peristiwa 10 tahun yang lalu. Saat aku mengenal Mas Hernowo sebagai kakak tingkat di kampusku. Perhatian , ketulusan dan kesederhanaannya lah yang membuat aku jatuh cinta padanya. Mas Hernowo sama sekali tidak menampakkan bahwa dia anak keturunan dari dinasti industri Kretek di kota Kudus. Tidak seperti laki-laki lain yang sok perlente saat mendekatiku.  Prestasi Mas Hernowo juga sangat bagus, selain gemar berorganisasi Mas Hernowo juga gemar berkesenian. Berbagai acara pertunjukan kesenian diikutinya. Mas Hernowo selalu sopan dan menyenangkan terhadap orang tuaku. Sehingga Bapak Ibu pun terpincut kesopanan dan kebaikan Mas Hernowo. Bapak sempat kaget setelah setelah mengetahui bahwa Mas Hernowo adalah putra dari keluarga Dipadiharjo. Seolah Bapak sudah melihat akan ada beban berat di pundakku bila aku bersuamikan Mas Hernowo. Apalagi setelah mengetahui bahwa Mas Hernowo putra satu-satunya di keluarga tersebut.

"Aku ingin Jeng bicara....jangan hanya menerima keputusan saja....kalau memang Jeng tidak bisa melakukan ini.....karena saya pun juga keberatan Jeng...." "Aku tidak akan bisa melakukannya Jeng.....aku sangat mencintai Jeng....aku tidak bisa menduakannya....aku tidak bisa melakukannya jeng". kata-kata Mas Hernowo terpaksa membuatku menoleh padanya. Sebuah air mata bening menetes di sudut mataku segera kuhapus. Aku harus tegar, aku harus bisa memberi semangat pada Mas Hernowo untuk menerima keputusan rapat itu. Aku harus menguatkannya, dan aku sendiri sudah menerima keputusan itu.

"Mas....toh kita tetap masih bersama kan Mas....walau Mas bukan lagi milikku seutuhnya, paling tidak kita masih bisa saling memandang tiap hari" aku mencoba tegar. walau hatiku terasa teriris sembilu.

"Aku tahu Jeng pasti akan terluka karenanya...walaupun Jeng tak menunjukkan...Aku tidak bisa menyakiti orang yang sangat aku cintai Jeng...." jelas Mas Hernowo sambil merapatkan badannya ke tubuhku. Aku merasakan ada cairan bening hangat yang hinggap di pipiku saat Mas Hernowo pelan-pelan menciumku.

"Besok masih ada pertemuan keluarga lagi Jeng....semoga kita masih diberi kesempatan untuk berbicara....tolong Jeng katakan..kalau Jeng keberatan...saya yakin mereka pasti akan menerima dan mencari solusi lain....toh...keponakan-keponakan kita juga banyak yang laki-laki...mereka juga berhak meneruskan jalannya perusahaan..".

"Kita tunggu besok Mas...semoga mereka mau menerima alasan kita, bahwa kita saling mencintai dan tak ingin saling melukai..." aku hanya menimpali sekenanya pendapat suamiku. Karena sebagai seorang wanita aku sudah merasa pasrah, apa yang menjadi keputusan keluarga dan suamiku. Aku jadi ingat petuah dan nasehat sesepuh yang diberikan saat kami hendak menikah dulu. Sebagian orang Jawa masih menganggap bahwa perempuan hanyalah sebagai wadah (cawan) dari permata mulia milik laki-laki. Perempuan hanya sebagai emban, sebagai klangen kehidupan laki-laki. Sehingga laki-laki berhak untuk berpoligami bila diperlukan.

***************

Esok harinya rapat keluarga besar Dipadiharjo digelar kembali, aku dan Mas Hernowo juga turut di dalamnya. Tetapi aku sudah tidak diberi kesempatan untuk berbicara, bahkan mereka memberi pengertian padaku akan posisi perempuan Jawa.  Bahwa perempuan harus eling karena posisi perempuan lebih rendah dari laki-laki sebagai takdir Tuhan. Perempuan harus isin yaitu harus memiliki rasa malu dan bisa menahan diri untuk tidak melakukan hal-hal yang tidak perlu. Perempuan harus sabar dan tangguh menghadapi berbagai cobaan hidup, serta harus legawa, yaitu rela menerima kondisi seberat apapun dan pantang mempertuntutkan hawa nafsu. Aku hanya bisa diam saja mendengarkan putuah sesepuh keluarga ini. Mas Hernowo di sebelahku hanya mampu menggenggam tanganku erat-erat. Karena sekali dua kali Mas Hernowo hendak berbicara namun tiada digubris sama sekali.

"Hernowo...engkau hanya akan mempunyai hak bicara..dan wewenang semua warisan keluarga Dipadiharja bila nanti sudah mempunyai keturunan....sebelum itu kamu hanya dianggap sebagai anggota keluarga biasa.." Mas Hernowo pun hanya bisa mengangguk lemah.

Pada rapat kali ini sudah diputuskan siapa wanita yang hendak menikah dengan suamiku. Kami tidak diberi kesempatan untuk memilih sendiri. Karena para tetua sudah memperhitungkan dari segi bibit, bobot dan bebet. Bibit seorang wanita bisa dilihat dari keturunannya, bobot merupakan kwalitas dan karakter seseorang perempuan, sedangkan bebet bisa dilihat dari ciri-ciri fisiknya.

Pilihan sudah dijatuhkan. Siti Sholeha, putri dari H. Danuri, seorang alim ulama di Kudus, seorang lulusan pondok pesantren. Aku memang belum pernah bertemu dengan anaknya, hanya beberapa kali mengikuti ceramah bapaknya saja. Keputusan rapat sudah bulat. Dan tinggal pelaksanaannya saja. Besok akan diadakan acara nakokke , utusan dari pihak keluarga Dipadiharja akan berkunjung ke tempat tinggal orang tua Siti Sholeha. Selanjutnya segera diadakan acara lamaran, sambil berunding kapan acara pernikahan bisa dilaksanakan. Pihak keluarga menginginkan secepat mungkin. Mas Hernowo sendiri sekarang berubah agak pendiam. Aku menyadari kegundahan hatinya. Dia sebenarnya tidak ingin melakukan apa yang sama sekali tidak diingikannya. Aku tetap berusa tenang dan menerima semua ini. Walaupun hatiku terasa hancur, bagaimana tidak, aku harus berbagi suami. Harus ada orang lain diantara kami. Aku takut bila nantinya mereka sudah mempunyai keturunan apakah Mas Hernowo sedikit demi sedikit akan berubah dan menjauhiku. Aku akan kesepian sendiri. Tapi bila mengingat keadaanku yang belum juga berketurunan aku harus rela, aku harus berkorban demi keluarga besar Dipadiharja ini.

"Pengorbananmu akan dibalas sing kuasa Nduk....sing sabar lan sumareh yo..." begitu pesan ibu mertua yang sudah biasa hidup bersama madu-madunya. Ibu tampaknya mengerti akan kegelisahan dan kesedihannku. Sehingga ibu memberiku kesibukan untuk mengurusi usaha batiknya. Semakin dekat hari H kesibukan semakin meningkat, rupanya akan diadakan upacara pernikahan secara besar-besaran seperti permintaan keluarga keluarga H. Danuri. Aku tidak mengerti apakah mereka juga mempertimbangkan perasaanku atau tidak. Aku tidak pernah dimintai pendapat lagi. Kecuali Ranjang Pengantin dan pernik-perniknya mereka meminta pendapatku. Karena kamar pengantin mereka ada di kamarku sebagai kamar utama yang terletak di Sentong tengen, maka aku harus pindah kamar. Aku memilih tinggal di gladak yang agak tertutup, karena letaknya ada di bawah ruang Jogosatru , jadi aku bisa lebih leluasa menyendiri. aku ingin menyelesaikan beberapa karya fiksiku yang sempat terbengkalai.

Sehari sebelum hari H. aku dan Mas Hernowo masih menempati kamar utama, baru esok sebelum di gelar upacara ijab-qobul ranjang pengantin itu akan dipasang dan dihias. Malam ini menjadi malam yang terakhir aku memilki suamiku secara penuh.

"Jeng...kenapa harus berakhir begini....maafkan aku Jeng..." ucap lirih Mas Hernowo di telingaku.

"Mas harus tetap tegar...Mas harus ingat sebentar lagi Mas akan menjadi bapak...Mas akan segera punya keturunan. Kuatkan hati....pandanglah masa depan itu dengan lebih baik...untuk kebaikan kita semua ini Mas...aku sudah mengiklaskan, karena aku sangat mencintai Mas..." aku hanya bisa berpura-pura tegar dan memberi semangat pada suamiku.

Malam itu kami habiskan untuk menikmati indahnya cinta secara penuh, melebihi saat malam pertama dulu. Semalaman kami tidak ingin melewatkannya. Karena tinggal malam ini saja aku memiliki suamiku secara utuh,walaupun hari-hari selanjutnya masih milikku. Tetapi esok aku harus membaginya, aku harus banyak mengalah dan sabar.

*************

Hari yang ditunggupun tiba. Pagi-pagi aku sudah memberesi tempat tidur yang biasa kami pergunakan bercinta ke Gladak. Dengan dibantu beberapa rewang , dalam sekejap tempat tidurku sudah tertata rapi. Aku tidak ingin mengganti spreinya. Sprei yang menjadi saksi indahnya percintaan kami semalam. Bau keringat kami beradu ada di sprai itu. Seharian aku hanya terdiam di ruang Gladak yang sekarang telah berubah menjadi kamarku. Aku habiskan waktu untuk menulis merampungkan fiksi-fiksiku. Suara gaduh di luar masih saja aku dengar, celoteh agak jorok para ibu di pawon, atau kemeriahan yang terjadi di Pendopo dan Pringgitan. Aku tak ingin menengoknya. Lebih baik aku menguatkan hatiku di sini.

Aku hanya beberapa saat membantu tukang dekor yang akan menyulap kamarku menjadi kamar pengantin buat suamiku. Karena aku yang tahu selera Mas Hernowo maka aku dimintai pendapat soal hiasan kamar pengantin. Bagaimana Ranjang Pengantin yang disukai Mas Hernowo. Dengan lapang dada aku membantunya. Walau hatiku terasa hancur memikirkan apa yang akan terjadi nanti malam antara suamiku dan pengantin wanitanya. Maka aku segera bergegas kembali ke Gladak.

************

Tak terasa kemeriahan di luar sudah agak berkurang bahkan sudah sepi. Ternyata memang sudah malam , jam 11 malam. Samar-samar aku dengar suara langkah kaki menuju kamarku. Suara langkah kaki yang terburu-buru....dan terasa berat.

" Lila...Lila...Lila...bukakan pintu...." aku hafal betul....itu suara Mas Hernowo, bukankah ini saat malam pengantinnya. Seharusnya Mas Hernowo sedang menikmatinya bersama istri barunya. Bukan malah mencariku di sini. Ketukan di pintu semakin kencang. Maka aku segera membukanya. "Lila.....aku tidak bisa  Jeng....aku tidak bisa melakukannya..." kata Mas Hernowo yang sudah bersimpuh di kakiku.

"Mas....akan bisa....Mas harus bisa....Mas harus melakukannya....demi keluarga besar Dipadiharja" kataku sambil membangunkan suamiku.

"Mas..tidak boleh bersimpuh di kakiku perempuan mandul ini...Mas..masih mempunyai masa depan yang panjang...Mas adalah Priyagung tidak  boleh berperilaku seperti itu.."

" Tidak...Jeng...aku tidak bisa melakukanya. aku hanya ingin melalukan denganmu..." suara pelan Mas Hernowo  yang sudah memelukku erat.

Sementara di belakang Mas Hernowo aku lihat seorang perempuan setengah telanjang, yang sedang sangat birahi mengigil kedinginan. Rambutnya yang panjang sebahu, dengan dada yang membusung dan wajah yang cukup cantik pastilah akan membuat semua pria ingin memilikinya. Kenapa dengan Mas Hernowo. Kenapa tidak mau menyentuhnya.

"Aku hanya ingin menuntut hakku sebagai istri...Mbak..." aku lihat wajah perempuan itu agak memucat. Aku segera mengambil sprei yang kami pergunakan bercinta semalam, yang sudah terpasang di tempat tidurku. Aku tutupkan sprei itu ke tubuh wanita itu, sambil menggamitnya untuk kembali ke kamar utama. Mas Hernowo hanya mengikuti kami dari belakang. Sesampainya di pintu kamar aku melepas sprai itu dan menyuruh wanita itu untuk memasangnya di ranjang pengantinnya. "Mas ..pasti bisa melakukannya. ciumlah bau birahi kita semalam yang tertampung di sprai itu.....Mas..pasti bisa melakukannya" kataku pada Mas Hernowo dan segera menutup pintu kamar dari luar. Aku tidak memberi kesempatan Mas Hernowo untuk berkata apa-apa. Aku segera kembali ke Gladak ke tempat tidurku yang sudah usang namun masih sangat nyaman. Aku pusatkan perhatianku untuk terus memuji dan berzdikir pada Tuhan. Aku sudah tidak memperdulikan perasaanku lagi. Tak boleh lagi ada air mata menetes.  Apalah artinya aku sekarang, hanya wanita mandul belaka.

Lamat-lamat aku dengar suara orang yang sedang membang Kinanthi :Dhuh ger putra putraningsun,nadyan wus kanthi pinusthi,Marang Hyang Kang Murbeng Titah, graitaning para putri, saprahastha para putra,tarantananing pamikir.Marma ger aywa sireku,pasang sumeh jroning ati, katitik tyas lan sembada,marang apngaling Hyang Widdhi, kang widagda tuhu wignya,anyolahken bawa maring. (diambil dari serat Wulang Putri oleh Sinuhun Paku Buwana IX ).

 

Keterangan : jogosatru = ruang depan dalam Rumah adat Kudus yang biasa dipergunakan untuk ruang tamu. soko = tiang pilar pada rumah gebyok adat Kudus , biasanya 4 soko yang menjadi penjangga ruang jogosatru. wadah (cawan) = tempat yang berbentuk cekung. emban = pembantu. klangen = penghias kehidupan. eling = ingat. isin = malu legawa = rela bibit = keturunan bobot = nilai, kwalitas bebet = jenis nakokke = menanyakan pada pihak keluarga wanita apakah anaknya sudah ada yang melamar atau belum. lamaran = acara pengikat bahwa seorang wanita sudah ada yang hendak menikahinya. nduk = panggilan untuk anak perempuan Jawa. sentong tengen = ruang bagian belakang dari rumah adat Kudus yang terletak di sebelah kanan. gladak = ruang di bawah jogosatru dari Rumah adat kudus, biasanya kosong atau untuk menyimpan barang berharga. rewang = orang yang bekerja sebagai pembantu. pendopo = ruang pertemuan pada Rumah Adat kudus. pringgitan = ruang untuk pertunjukan pada rumah Adat Kudus. tukang dekor = orang yang mempunyai kepandaian mengias pelaminan dan sebagainya. pawon = dapur

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun