[caption id="attachment_341212" align="alignnone" width="300" caption="hanya puing-puing satu-dua rumah yang masih tersisa.doc. pri."][/caption]
Musim hujan sudah dimulai sejak sebulan terakhir ini, walaupun hujan belum begitu intens tiba namun curah hujan yang begitu deras sempat mengkhawatirkan bagi warga kampung kami. Kami tinggal di dukuh Kambangan yang terletak di lereng gunung Muria, sudah mulai was-was...apalagi bukit yang menjulang di belakang rumah kami sudah semakin rapuh, karena satu persatu tanaman besar sudah ditebang untuk keperluan pembuatan rumah dan sebagainya. Hanya tanaman jagung dan ketela pohong yang tak mampu menahan curahan air hujan dan air kiriman dari Gunung bila terjadi hujan lebat.
Setelah berhari-hari kampung kami tersiram hujan, hari ini mentari menampakkan sinarnya sehingga warga bisa beraktifitas seperti biasa ke ladang untuk menenggok tanaman jagung yang sudah mulai berbunga, atau sekedar mencari rumput buat makanan ternak, kambing dan kerbau yang ada di kandang dekat rumah.
Hari ini aku juga harus segera kembali ke kota karena sudah 3 hari aku tidak masuk kerja, karena hujan terus menerus tidak memungkinkan untuk mengadakan perjalanan ke kota. Selain itu perasaanku seperti ada sesuatu yang berat untuk meninggalkan emak, bapak dan ketiga adikku, Yanto, Mardi dan Rois. Namun cuaca sudah cerah aku segera kembali ke kota dengan mengendarai sepeda motorku.
Namaku Marni, aku bekerja sebagai penjaga gerai pakaian di pusat perbelanjaan kotaku Kudus. Sudah hampir 2 tahun aku bekerja disini sejak menamatkan Madrasah Sanawiyah . Berkat bantuan seorang teman yang sudah lebih dahulu bekerja sebagai karyawan sebuah Mall di kota kami, aku bisa langsung diterima bekerja di sebuah gerai pakaian yang cukup ternama di kota kami. Karena bossnya baik, dan kerjaku yang dinilai bagus maka saat ini aku dipercaya untuk mengkoordinator beberapa teman sesama karyawan di gerai ini. Kadang-kadang dalam sebulan sekali aku diberi kesempatan untuk pulang ke desaku, yang berjarak 35 KM dari pusat kota. Walaupn tidak begitu jauh namun medan yang sulit membuatku agak keropotan bila harus pulang balik dalam satu hari. Maka aku sering libur 2-3 hari sekalian dalam sebulan tanpa menggambil libur mingguan.
Entah kenapa siang itu ada yang terasa berat mengganjal ketika aku hendak berpamitan dengan emak, bapak dan adik-adikku.Ada suatu perasaan lain aku memandang mereka, rasanya akan lama kita bisa bertemu lagi. Namun karena teringat tugas aku tepis perasaan burukku itu, dan segera menghidupkan mesin sepeda motorku.
"Hati-hati Mar....jalanan licin dan hindari longsoran tanah sepanjang jalan ya...." begitu pesan bapak yang menungguiku di halaman rumah.
"Iya...Pak ..Mar akan hati-hati...Bapak dan Emak hati-hati juga ya...sebaiknya adik-adik tidak usah main keluar dulu cuaca belum begitu baik...." aku membalas pesan Bapak dengan pesan juga.
Entah kenapa motorku agak susah distaternya, Yanto, Mardi dan Rois ikut keluar rumah melihatku yang sedang berusaha menghidupkan mesin sepeda motor. Entah kenapa Yanto tiba-tiba mendekat menyalamiku sebelum membantu menstater motorku. Ada perasaan haru melihat adik-adikku, mereka hidup seadaanya sebagai orang desa, makanpun hanya seadanya apa yang bisa dipanen dari kebun bapak yang tak begitu luas itu. Rumah kami walau sudah tembok namun masih sangat sederhana, yang penting kami tidak kedinginan bila angin gunung datang menerpa.
Syukurlah mesin motor sudah bisa dinyalakan...dengan asap knalpot yang membubung dan suara khas yang memekakkan telingga , aku mengendarai motorku melewati beberapa rumah yang juga masih kerabat kami juga.
"Ati-ati Mar.....!!" itu yang berulangkali diucapkan beberapa kerabatku yang kebetulan berpapasan denganku di halaman rumahnya.
"Iya...Lek.....maturnuwun.." hanya itu kata yang aku ungkapkan sebagai balasan atas perhatian mereka.
Sepeda motorku terus menderu...melintasi jalan yang hanya sejengkal, disela-sela perbukitan kampung kami. Kadang-kadang aku terpaksa menghindar dengan turun dari sepeda motor bila harus melewati tanah longsor yang menutupi sebagian ruas jalan yang sempit. Kepulan asap sepeda motorku membumbung memecah kesunyian pada rerimbunan bukit dan jurang yang terus meranggas. Hingga sampailah aku pada jalanan yang mulus yang sudah beraspal, sebagai tanda aku sudah akan memasuki wilayah ibukota kecamatan.
Laju sepeda motorku segera kutambah setelah melewat jalanan nan mulus namun tak begitu ramai, hingga jam 2 siang aku sudah sampai di kota, dan langsung menuju tempat aku bekerja, tanpa mengganti pakaian dulu di tempat kost. Aku segera menghampiri Cik Mey...bossku pemilik gerai tempat aku bekerja.
"Maaf...Cik...aku terlambat....karena hujan tak kunjung henti..." demikian aku memberi alasan untuk ijin keterlambatanku yang seharusnya aku masuk kerja jam 1 siang tadi.
"Iya...gak apa-apa yang penting kamu selamat bisa masuk kerja lagi...." begitu balasan Cik Mey yang membuatku senang. Aku segera mengerjakan tugas-tugasku mengecek dan membuat laporan stok barang yang menjadi tanggung jawabku.
Hingga saat istirahat jam 5 sore tiba aku sempatkan untuk ke kost untuk sekedar mandi dan mengganti pakaian. Serta makan di warung Mbak Nem sebelah rumah kost kami. Setelah itu aku segera kembali ke gerai tempai aku bekerja. Hujan deras dan langit hitam menyelimuti kota kami. Ada perasaan tidak enak menyelimuti hatiku, aku teringat emak, bapak dan ketiga adikku Yanto, Mardi dan Rois. Ada apa dengan mereka, aku segera menepisnya dengan berdoa dan membaca Al-Fathehah, semoga tak terjadi apa-apa dengan dusun kami. Tapi entah kenapa perasaan tidak enak itu semakin menguat .....aku meninta ijin untuk menelpon bapak sejenak. Beberapa kali aku telpon susah sekali...sepertinya di kampung sedang hujan deras sehingga sinyal jelek, walau akhirnya denga suara yang tak begitu jelas aku bisa mendengar suara bapak.
"Pak...aku sudah sampai dengan selamat....bapak, emak dan adik-adik tak apa-apa kan...??" itu kata yang sempat aku samapaikan pada bapak.
"Ati-ati yo Nduk..." begitu suara yang bisa aku dengar dari seberang sana, karena setelah itu hanya suara kremesek yang aku dengar. Sambungan telpon pun terpuus.
Hatiku semakin tidak karuan setelah berulang kali aku ingin menyambung telpon lagi gagal, tak ada sinyal. tak ada nada apapun dari seberang sana.
Kerisauan hatiku kututupi dengan kembali bekerja dan melayani mengunjung yang hanya satu, dua masuk ke gerai kami.
Jam 7 malam aku kembali ingin menelpon bapak, namun berulangkali pula gagal lagi tak ada sinyal dan ada nada apapun dari seberang sana. Hingga ada seorang yang datang menemuiku, dia temanku yang tinggal sedesa namun tidak satu dusun denganku.
"Mar....apa kamu sudah mendengar apa yang terjadi di dusunmu...." bagai disambar petir...aku menerima berita itu...
"Ada tanah longsor...di bukit belakang rumahmu......." hatiku terasa hancur berkeping-keping teringat dengan Bapak, Emak dan ketiga adikku yanto, Mardi dan Rois.
Aku sudah tak bisa berkata-kata lagi hanya hujan air mata yang memenuhi wajahku. Aku segera pamit pada Cik Mey..untuk mencari berita tentang keadaan kampungku.
Dengan diantar Agus orang kepercayaan Cik Mey...aku menembus lebatnya hujan menuju desaku. Namun sampai di ibukota kecamatan kami di hadang tiak boleh melintas karena ada tragedi tanah longsor di kambangan, begitu kata meraka. Kambangan..ya ..Kambangan adalah kampung halamanku..disana ada Emak, Bapak dan ketiga adikku. Badanku terasa lemas, aku segera turun dari boncengan sepeda motor....tangisku pecah di pinggir jalan, hingga beberapa orang mengerubutiku. Aku minta tolong kepada mereka agar aku diantarkan memasuki kampungku, tetapi tetap tidak diijinkan.....aku hanya bisa menangis meraung menyebut nama Bapa,emak dan adik-adikku. Akhirnya aku dibawa ke posko yang didirikan secara dadakan. Orang sudah ribut semua....beberapa peralatan dan penerangan disiapkan untuk memasuki titik terdekat lokasi bencana. Aku mendapat kabar bahwa bukit di belakang rumah kami runtuh dan mengubur semua rumah yang ada di bawah bukit tersebut. Beberapa ada yang selamat dan saat ini sedang dipersiapkan untuk mengefakuasi mereka ke tempat penampungan sementara yang lebih aman.
Bagaimana hancurnya perasaanku, bagaimana dengan nasib emak, bapak dan adik-adikku belum aku ketahui, aku tidak diperbolehkan memasuki daerah bencana hanya petugas dari POLRI dan TNI saja yang diperbolehkan. Apa yang bisa aku lakukan disini...aku hanya bisa berdoa-dan berdoa semoga semua anggota keluarga dan kerabatku semua selamat. Aku segera mengambil air wudhu dan meminjam mukena untuk sholat dan memohon pertolongan dari Allah....itu saja dulu yang bisa aku lakukan sepanjang malam, aku tak bisa menutup dan memejamkan mataku untuk beristirahat, karena air mataku tak henti-hentinya berhenti mengalir.
Setelah subuh tiba aku diijinkan untuk bergabung dengan tim evakuasi untuk menuju titik penampungan terdekat. Aku hanya bisa berdoa dan berharap seluruh keluargaku selamat dan saat ini ada di penampungan di Masjid desa kami, yang lokasinya kurang lebih 4 KM dari dusun kami Kambangan.
Sesampai di lokasi penampungan aku harus turun karena tidak diijinkan memasuki titik lokasi bencana. Dengan nanar satu per satu aku perhatikan mereka, aku mencari bapak, emak , Yanto, Mardi dan Rois. Namun pencarianku sia-sia....tidak seorang anggota keluargaku ada disini.
" Mar........." Lek Rom menghampiriku...kami pun segera berpelukan erat menumpahkan tangis yang tak bisa kami bendung. Dari Lek Rom aku mendapat kabar bahwa Yanto selamat dari musibah karena pada saat kejadian, yaitu sesaat sebelum adzan Maghrib tiba Yanto sudah pergi untuk mengaji di rumah Pak Haji Samsuri yang rumahnya dekat masjid ini.
Lek Rom menceritakan bahwa gemuruh itu datangnya cepat sekali, tanah bukit itu tiba-tiba berjalan dan menguruk semua rumah di dusun Kambangan.Sebenarnya sudah sejak sore ketika hujan belum deras, begitu jelas tanda-tanda longsor itu sudah ada, beberapa pohon dan batu di puncak bukit mulai jatuh ke bawah. Namun karena hujan turun dengan derasnya dan cuaca yang gelap membuat semua warga justru masuk ke dalam rumah, yang dikira menjadi tempat yang aman untuk bernaung. Namun dugaan mereka salah, para warga justru terkubur hidup-hidup di dalam rumah mereka. Bukit dan daerah rumah penduduk telah rata, seperti tanah pekuburan. Sisa-sisa kehidupan telah punah, hanya beberapa rumah warga yang masih kelihatan keping-kepingnya.
Menurut Lek Rom, Yanto ada di masjid penampungan itu juga namun aku belum menemukannya, segera aku menyusuri sudut-sudut masjid di dalam dan di luar masjid. Betapa senangnya hatiku...melihat Yanto yang sedang terpekur sendiri di bawah pohon mangga di ujung halaman masjid.
"Yanto......."aku segera menghampirinya dan memeluknya erat-erat...air mataku berhamburan...Yanto kelihatan bersedih banget.
"Emak, bapak, Mardi dan Rois mungkin tidak selamat Mbak....." guratan kepedihan kami rasakan bersama. Yanto adikku yang baru duduk di kelas 6 SD itu sudah bisa mengekspresikan kepedihannya. Kami hanya berpelukkan dan menangis bersama.
Tim Evakuasi dan SAR segera berdatangan pagi itu, namun kabar tentang Emak, Bapak , Mardi dan Rois belum juga dapat aku terima. Aku hanya bisa menangis dan berdoa, hingga menjelang sore jenazah bapak dan Mardi yang sudah bisa ditemukan. Sedangkan jenazah emak dan Rois ditemukan 3 hari setelah kejadian itu, dan yang membuat aku pedih ketika diberi kesempatan untuk mengidentifikasi jenazah Emak dan Rois , aku melihat dalam kondisi Emak yang sedang memeluk adikku Rois dengan erat, seolah emak hendak melindungi putranya agar terhindar dari bencana. Dan aku hanya bisa bertawakhal kepada Allah saja atas semua kejadiaan ini, karena Allah pasti punya jalan terbaik bagi hidup kami selanjutnya.
[caption id="attachment_341215" align="alignnone" width="300" caption="tempat pengungsian dusun Kambangan. doc.pri."]
Kudus, 14 Desember 2014
'doa kami panjatkan untuk semua korban bencana tanah longsor di manapun berada'
Dinda Pertiwi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H