Mohon tunggu...
Sri Rumani
Sri Rumani Mohon Tunggu... Pustakawan - Pustakawan

Rakyat kecil, bukan siapa-siapa dan tidak memiliki apa-apa kecuali Alloh SWT yang sedang berjalan dalam "kesenyapan" untuk mendapatkan pengakuan "profesinya". Sayang ketika mendekati tujuan dihadang dan diusir secara terorganisir, terstruktur, dan konstitusional... Email:srirumani@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Hidup di Negeri Orang Memang Enak?

17 Oktober 2020   16:54 Diperbarui: 20 Oktober 2020   17:27 710
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi mencari tujuan tinggal di luar negeri. (sumber: shutterstock via kompas.com)

Setiap anak tidak dapat memilih siapa orang tuanya, termasuk status sosial, pangkat, derajat, asal usul dan kewarganegaraan dari mana. Artinya anak itu lahir sudah satu paket dengan kondisi ekonomi, pendidikan, status sosial, agama, kedudukan, derajat, dari orang tuanya. 

Namun, tidak menutup kemungkinan, dalam perjalanan hidup anak dipindah tangankan kepada orang lain. Caranya adopsi, diangkat, diasuh, dititipkan orang lain dengan segala konsekwensi hak dan kewajibannya.

Kewarganegaraan orang tua menurun kepada anaknya, kecuali ada perististiwa lain seperti perkawinan, adopsi, naturalisasi, sengaja mengajukan pindah menjadi warga negara lain.

Semua itu ada proses dan prosedur panjang, dengan syarat-syarat tertentu. Artinya aturan setiap negara berbeda untuk mengatur perpindahan kewarganegaraan. Tidak semudah membalik tangan, tetapi ada syarat, prosedur yang harus dilengkapi dan dilalui.

Anak milenial sering melontarkan candaan pingin pindah kewarganegaraan. Keinginan itu muncul karena merasakan semakin sulit mencari pekerjaan di negeri sendiri. 

Lowongan kerja minim, jumlah lulusan lebih banyak dibanding lowongan yang tersedia, dan sistem KKN masih kental. Kompetensi dan profesionalisme, belum dihargai maksimal. Seloroh anak milenial ini tidak dapat diabaikan, karena SDM berkualitas dan potensial bisa jadi mewujudkan niatnya, kita yang rugi karena potensinya tidak dimanfaatkan. 

Mereka mengekpresikan rasa kecewa, karena ijazah pendidikan tinggi, plus kompetensi ternyata belum jaminan mendapat pekerjaan. Persaingan semakin ketat, sehingga bekalnya bukan hanya intelektual tetapi dipadukan dengan emosional dan spiritual.

Terlepas dari itu semua, apakah benar hidup di negeri orang lebih terjamin, aman, nyaman, fasilitas lengkap dan serba mudah. Apalagi bekerja di luar negeri ekspektasinya mendapat gaji dengan mata uang yang bila dikonversi ke rupiah selalu lebih tinggi.

Kita selalu melihat orang lain dari segi capaiannya, tanpa melihat proses yang telah dijalani. Akibatnya selalu melihat:"Rumput tetangga lebih hijau daripada rumput sendiri", artinya apa yang dimiliki orang lain terlihat lebih indah dari milik sendiri.

Mereka lupa ada peribahasa :"Hujan emas di negeri orang, hujan batu di negeri sendiri masih lebih baik di negeri sendiri". Artinya sebagus dan senyaman di negeri orang lebih baik di negeri sendiri karena ada perasaan bangga dengan negeri sendiri. 

Hal ini yang selalu menjadi pertimbangan untuk memutuskan pindah kewarganegaraa. Orang selalu melihat dari segi enak dan nyamannya tinggal di negara orang lain, belum merasakan segi tidak enaknya. 

Betapa perlu perjuangan bila sudah merasakan sendiri hidup di negara asing dengan perbedaan budaya, bahasa, rasa persatuan, kesatuan, kekeluargaan dan kegotong royongan.

Padahal kondisi alam, flora dan fauna di Indonesia yang selalu digambarkan seperti jamrut katulistiwa itu menarik orang asing untuk menikmati. Kekayaan dari berbagai sumber di Indonesia sejatinya dapat mendatangkan kemakmuran dan kesejahteraan warganya. 

Sumber dari hasil bumi, laut, devisa sektor pariwisata, sungguh menjadi karuniaNya yang patut disyukuri dan dinikmati. Disinilah SDM yang bekualitas sangat dibutuhkan untuk mengelola kekayaan alam Indonesia.

Mereka anak-anak milenial ke luar negeri untuk traveling, refreshing, menunaikan ibadah, study banding, tugas belajar dalam waktu terbatas, tidak masalah. 

Menjadi masalah, ketika sudah selesai urusannya atau tugas belajar tidak segera pulang ke Indonesia, karena kerja dan pingin menetap di luar negeri.

Apakah salah? Tidak ada yang salah, cuma ketika mendapat beasiswa tugas belajar di luar negeri harapannya ilmu yang diperoleh memberi manfaat setelah kembali ke Indonesia. 

Jadi sebenarnya ada tanggung jawab secara moralitas untuk mendarmabaktikan ilmunya. Namun sering terjadi, ketika sudah mendapatkan ilmu dan pulang di Tanah Air ternyata tidak bisa langsung diaplikasikan karena sistem senior - yunior, dan politik birokrasi.

Kembali ke soal berada di luar negeri sering tidak sesuai dengan ekspektasi yang dibayangkan. Setiap orang pasti mempunyai pengalaman, kenangan, selama di luar negeri. 

Perbedaan bahasa, kultur, cuaca, musim, waktu, kebiasaan, jenis makanan, hubungan pertemanan, bertetangga, jauh berbeda dengan di Indonesia. 

Kondisi yang serba berbeda ini perlu waktu untuk menyesuaikan diri agar segera dapat melakukan aktivitas yang seirama dengan suasana baru. Di Indonesia pun tiap daerah mempunyai bahasa, adat istiadat, budaya, kebiasaan berbeda. Andaikan pindah daerah tetap harus menyesuaikan di tempat yang baru.

Pastinya menyesuaikan hidup di luar negeri perlu mengorbankan rasa, emosi, sabar, ikhlas, tidak banyak menuntut. Kondisi ini sangat terasa saat menjalankan ibadah haji.

Penyesuaian mulai dari bahasa, waktu (selisih 5 jam dengan Indonesia), kebiasaan, makanan, tempat tinggal, cuaca. Soal makanan jujur kalau dirasakan tidak seenak masakan Tanah Air, walau menu dan koki dari Indonesia. 

Akibatnya banyak jama'ah haji yang malas makan, tidak selera makan, karena cita rasanya berbeda dengan lidah Indonesia. Nilai mata uang yang berbeda, sehingga setiap belanja selalu mengkorversi dengan rupiah, jatuhnya pasti lebih mahal. Pesan dosen FIB UI waktu di Belanda, kalau mau makan atau membeli sesuatu tidak perlu mengkorversi ke nilai rupiah, nanti bisa kelaparan karena tidak jadi membeli.

Di negera-negara Eropa, Australia, Amerika, Afrika berbeda lagi, tingkat kesulitan untuk menyesuaikan lebih beragam dan komplek. Kondisi ini tentu membutuhkan kematangan intelektual, emosional, dan spiritual tingkat tinggi agar semua berjalan dengan normal dan lancar. 

Pastinya di awal tinggal di luar negeri walau hanya 1 (bulan) untuk pelatihan, harus cepas menyesuaikan dengan cuaca dingin dan menu makanan yang sering menganggu pencernakan. Rasa rindu (homesick) dengan keluarga pasti ada, sehingga TI dapat mendekatkan yang jauh dengan video call (VC). Jaman dulu pakai telepon yang biayanya mahal, dan harus menyesuaikan waktu.

Jadi masih kepingin tinggal di luar negeri untuk jangka waktu lama, apalagi melepaskan kewarganegaraan Indonesia. Sebaiknya berpikir ulang seribu kali sebelum membuat keputusan besar.

Yogyakarta, 17 Oktober 2020 Pukul 14.45

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun