Penyesuaian mulai dari bahasa, waktu (selisih 5 jam dengan Indonesia), kebiasaan, makanan, tempat tinggal, cuaca. Soal makanan jujur kalau dirasakan tidak seenak masakan Tanah Air, walau menu dan koki dari Indonesia.Â
Akibatnya banyak jama'ah haji yang malas makan, tidak selera makan, karena cita rasanya berbeda dengan lidah Indonesia. Nilai mata uang yang berbeda, sehingga setiap belanja selalu mengkorversi dengan rupiah, jatuhnya pasti lebih mahal. Pesan dosen FIB UI waktu di Belanda, kalau mau makan atau membeli sesuatu tidak perlu mengkorversi ke nilai rupiah, nanti bisa kelaparan karena tidak jadi membeli.
Di negera-negara Eropa, Australia, Amerika, Afrika berbeda lagi, tingkat kesulitan untuk menyesuaikan lebih beragam dan komplek. Kondisi ini tentu membutuhkan kematangan intelektual, emosional, dan spiritual tingkat tinggi agar semua berjalan dengan normal dan lancar.Â
Pastinya di awal tinggal di luar negeri walau hanya 1 (bulan) untuk pelatihan, harus cepas menyesuaikan dengan cuaca dingin dan menu makanan yang sering menganggu pencernakan. Rasa rindu (homesick) dengan keluarga pasti ada, sehingga TI dapat mendekatkan yang jauh dengan video call (VC). Jaman dulu pakai telepon yang biayanya mahal, dan harus menyesuaikan waktu.
Jadi masih kepingin tinggal di luar negeri untuk jangka waktu lama, apalagi melepaskan kewarganegaraan Indonesia. Sebaiknya berpikir ulang seribu kali sebelum membuat keputusan besar.
Yogyakarta, 17 Oktober 2020 Pukul 14.45
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H