Mohon tunggu...
Sri Rumani
Sri Rumani Mohon Tunggu... Pustakawan - Pustakawan

Rakyat kecil, bukan siapa-siapa dan tidak memiliki apa-apa kecuali Alloh SWT yang sedang berjalan dalam "kesenyapan" untuk mendapatkan pengakuan "profesinya". Sayang ketika mendekati tujuan dihadang dan diusir secara terorganisir, terstruktur, dan konstitusional... Email:srirumani@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) Secara Daring Bukan Sekadar Pulsa

19 Agustus 2020   11:58 Diperbarui: 19 Agustus 2020   14:18 194
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejak pandemi Covid-19 mewabah di Indonesia, para siswa dan mahasiswa belajar dan kuliah dari rumah secara daring. Hal ini tidak masalah bagi keluarga mampu yang mempunyai fasilitas komplit (smartphone, laptop, notebook, internet unlimited, dana). 

Belajar dan kuliah di rumah masa pandemi ini "serasa" libur panjang, cuma wajib mendengarkan, mengerjakan dan mengumpulkan tugas. Suasana lebih nyaman, aman, tenang, di rumah kalau lapar dan haus tinggal ambil tidak perlu membayar seperti di kantin sekolah/kampus.  

Awalnya anak-anak suka cita belajar di rumah, namun setelah hampir 6 bulan mereka mulai mengalami rasa jenuh, seperti "terpenjara" dalam sangkar emas, bosan dan rindu dengan suasana sekolah. Ketemu bapak/ibu guru, sahabat, teman sebangku, menikmati suasana di kantin, kegiatan ekstra kurikuler, celotehan di ruangan kelas. 

Orang tua tidak kalah rempong dan pusing bukan sekedar mendampingi, tetapi menjadi pengganti guru kelas untuk anaknya. Kadang tidak sabaran, sehingga anak menjadi sasaran omelan, kekesalan dan kelelahan orang tua.

Berbeda masalah untuk anak yang tanpa fasilitas, kondisi orang tua kelas menengah bawah. Walau domisilinya di tengah kota besar, metropolitan, sekolah dengan PJJ lewat daring, ternyata menghadapi berbagai persoalan yang rumit dan pelik. 

Ada kisah seorang nenek di Cianjur kerja serabutan setiap hari pinjam handphone (HP) tetangga untuk cucunya yang sekolah di TK. Nenek tersebut tidak memiliki dan tidak bisa mengoperasikan HP (https://today.line.me/id).

Di daerah Magelang ada mahasiswi bersama adiknya yang SMP, dan sepupu di SMA setiap hari di pinggir jalan raya arah Borobudur agar mendapat sinyal dengan baik. Padahal di pinggir jalan raya ramai, panas, hujan, duduk menggelar alas keadanya, rawan kejahatan dan orang yang sekedar iseng (https://jateng.antaranews.com). 

Di daerah Nglipar Gunung Kidul, anak-anak SD harus berjalan kaki sejauh 2 km melewati lahan pertanian dan jalan terjal perbukitan setiap hari untuk mencari sinyal (https://news.okezone.com). 

Masih sederet kisah pilu yang dihadapi para siswa, guru, dan orang tua agar PJJ secara daring dapat terlaksana. Banyak guru yang berjuang tanpa pamrih agar anak didiknya dapat mengikuti PJJ daring, dengan mengantarkan tugas/mendampingi siswa ke rumahnya. Walau harus melewati jalan becek, berbatu, perbukitan, licin, dan sepi, semua dijalani demi tugas suci.

Berdasarkan sedikit kisah pelaksanaan PJJ secara daring di lapangan selama masa pandemi Covid-19, ternyata dalam pelaksanaannya  banyak menemuhi banyak kendala. 

Artinya "merdeka belajar", sekolah, guru-guru dan siswa mempunyai kebebasan untuk berinovasi, belajar dengan mandiri dan kreatif, itu tidak seperti membalik tangan. 

Terlebih masa Covid-19 walau sebagai titik awal pelaksanaan merdeka belajar, masih banyak yang "tergagap dan terkaget". Konsepnya bagus, memanfaatkan TI untuk proses belajar mengajar. 

Namun realita di lapangan menemui kendala ketersediaan gawai dalam keluarga, gagap teknologi (gaptek), akses listrik, jaringan internet, dan kuota internet mahal.  

Pemerintah baru mengkaji untuk memberi subsidi pulsa bagi para siswa dan para guru. Ide yang bagus dan patut diapresiasi sebagai tindakan "exstra ordinary" bersumber dari dana BOS. Masalahnya, bagaimana mekanisme, siapa yang mempunyai wewenang untuk membagi, siapa saja yang berhak mendapatkan subsidi. 

Perlu diperhatikan kriteria apa sebagai penentu yang berhak dan tidak berhak. Berapa kapasitas GB, isi pulsa harganya berapa, dari provider mana. Pemberian subsidi sampai kapan, dan berapa anggaran yang diperlukan ?. Semua itu perlu jelas, transparan, dapat dipertanggung jawabkan, agar setiap rupiah mempunyai nilai manfaat yang besar dan tepat sasaran.

Dalam kondisi normal, penggunaan dana BOS diakui harus ekstra hati-hati supaya tidak berakhir di balik jerugi besi. Dakwaan menyalahgunakan dana BOS, atau pertanggungjawaban yang tidak tranparan, sesuai dengan peruntukannya. Hal ini dapat megantarkan Kepala Sekolah sebagai pimpinan tertinggi mempunyai "peluang" masuk penjara karena dugaan korupsi BOS. 

Namun dalam kondisi serba darurat karena Covid-19, berdasarkan Permendikbud No.8 Tahun 2020 (direvisi), dana BOS dapat digunakan untuk beli pulsa internet gutu dan siswa.

Berdasarkan pasal 9 ayat 2 Permendikbud No.8 tahun 2020, dana BOS diantaranya untuk:"pengembangan perpustakaan, kegiatan pembelajaran dan ekstrakurikuler, penyediaan alat multi media pembelajaran, pengembangan profesi guru dan tenaga kependidikan, langganan daya dan jasa, uji kompetensi keahlian, sertifikasi kompetensi keahlian, uji kompetensi kemampuan bahasa Inggris, dan bahasa asing lainnya, pengembangan profesi guru dan tenaga kependidikan, praktek kerja industri/lapangan, pembayaran honor yang tidak boleh melebihi 50 persen dari keseluruhan jumlah alokasi dana BOS dll.

Sedang besarnya dana BOS per siswa per tahun, untuk SD Rp 9.00.000,00 SMP Rp 1.100.000,00 SMA Rp 1.500.000,00 SMK Rp 1.600.000,00 dan SDLB, SMPLB, SMALB Rp 2.000.000,00 (pasal 6 ayat 2). Dari besarnya dana BOS ini belum ditentukan secara jelas berapa persen atau rupiah yang untuk subsidi pulsa bagi siswa dan guru. 

Berapa bulan subsidi itu akan diberikan, semuanya perlu kejelasan secara rinci agar tidak ada Kepala Sekolah yang "tersandung/terpeleset" jatuh di hotel prodeo karena penyalahgunaan dana BOS. 

Persoalan masih berlanjut, siswa sudah mendapat subsidi dana BOS, lagi-lagi karena kondisi perekonomian keluarga, HP pun ternyata tidak punya walau di era yang sudah serba digital ini. Jangan lagi tanya bagaimana mengoperasikannya untuk orang tua yang di daerah 3 T (terdepan, terluar, tertinggal) semua perlu pendampingan.

Yogyakarta, 19 Agustus 2020  Pukul 11.56                                                                                                                                                                                                                                              

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun