Sejak pandemi Covid-19 mewabah di Indonesia, para siswa dan mahasiswa belajar dan kuliah dari rumah secara daring. Hal ini tidak masalah bagi keluarga mampu yang mempunyai fasilitas komplit (smartphone, laptop, notebook, internet unlimited, dana).Â
Belajar dan kuliah di rumah masa pandemi ini "serasa" libur panjang, cuma wajib mendengarkan, mengerjakan dan mengumpulkan tugas. Suasana lebih nyaman, aman, tenang, di rumah kalau lapar dan haus tinggal ambil tidak perlu membayar seperti di kantin sekolah/kampus. Â
Awalnya anak-anak suka cita belajar di rumah, namun setelah hampir 6 bulan mereka mulai mengalami rasa jenuh, seperti "terpenjara" dalam sangkar emas, bosan dan rindu dengan suasana sekolah. Ketemu bapak/ibu guru, sahabat, teman sebangku, menikmati suasana di kantin, kegiatan ekstra kurikuler, celotehan di ruangan kelas.Â
Orang tua tidak kalah rempong dan pusing bukan sekedar mendampingi, tetapi menjadi pengganti guru kelas untuk anaknya. Kadang tidak sabaran, sehingga anak menjadi sasaran omelan, kekesalan dan kelelahan orang tua.
Berbeda masalah untuk anak yang tanpa fasilitas, kondisi orang tua kelas menengah bawah. Walau domisilinya di tengah kota besar, metropolitan, sekolah dengan PJJ lewat daring, ternyata menghadapi berbagai persoalan yang rumit dan pelik.Â
Ada kisah seorang nenek di Cianjur kerja serabutan setiap hari pinjam handphone (HP) tetangga untuk cucunya yang sekolah di TK. Nenek tersebut tidak memiliki dan tidak bisa mengoperasikan HP (https://today.line.me/id).
Di daerah Magelang ada mahasiswi bersama adiknya yang SMP, dan sepupu di SMA setiap hari di pinggir jalan raya arah Borobudur agar mendapat sinyal dengan baik. Padahal di pinggir jalan raya ramai, panas, hujan, duduk menggelar alas keadanya, rawan kejahatan dan orang yang sekedar iseng (https://jateng.antaranews.com).Â
Di daerah Nglipar Gunung Kidul, anak-anak SD harus berjalan kaki sejauh 2 km melewati lahan pertanian dan jalan terjal perbukitan setiap hari untuk mencari sinyal (https://news.okezone.com).Â
Masih sederet kisah pilu yang dihadapi para siswa, guru, dan orang tua agar PJJ secara daring dapat terlaksana. Banyak guru yang berjuang tanpa pamrih agar anak didiknya dapat mengikuti PJJ daring, dengan mengantarkan tugas/mendampingi siswa ke rumahnya. Walau harus melewati jalan becek, berbatu, perbukitan, licin, dan sepi, semua dijalani demi tugas suci.
Berdasarkan sedikit kisah pelaksanaan PJJ secara daring di lapangan selama masa pandemi Covid-19, ternyata dalam pelaksanaannya  banyak menemuhi banyak kendala.Â
Artinya "merdeka belajar", sekolah, guru-guru dan siswa mempunyai kebebasan untuk berinovasi, belajar dengan mandiri dan kreatif, itu tidak seperti membalik tangan.Â