Umat Islam saat ini sedang menjalankan ibadah puasa Ramadan 2020 ditengah pandemi Covid-19, ada "rasa dan suasana" yang tiba-tiba lenyap. Puasa tahun ini rasanya ibarat masakan kurang garam, hambar, rasanya kurang nikmat, ada rasa yang hilang. Suasananyapun terasa sepi, senyap, walau sayub-sayub terdengar kumandang adzan, tetapi  masjid-masjid itu pintunya terkunci rapat.
Tidak pernah terbayangkan masjid menjadi sepi saat bulan puasa. Masjid tempat ibadah dengan pahala 27 derajad, setiap langkah kakinya menjadi amalan. Namun semua itu hilang di bulan puasa tahun 2020 karena pandemi Covid-19. Diyakini "rumah Allah" ini berpotensi dapat menularkan infeksi Covid-19, dengan berkumpulnya orang beribadah, yang tidak menjaga jarak aman.
Virus yang tidak terlihat mata dapat menular melalui droplet saat batuk dan bersin. Musuh mematikan itu ada di sekitar kita, membuat suasana tidak aman, tidak nyaman, ada rasa khawatir, takut, bahkan paranoid.
Untuk memutus rantai penyebaran Covid-19, semua aktivitas di masjid berhenti total, walau ada pro dan kontra dengan argumennya. Pastinya puasa Ramadan tahun 2020, tidak mendengar celotehan anak-anak kecil dengan riang gembira bersepeda, jalan kaki menuju ke masjid.
Mereka tidak lagi mendengarkan kisah Nabi, latihan membaca surat pendek sambil menunggu saat berbuka puasa. Tidak juga mendapatkan takjil (nasi box, teh hangat) yang disediakan warga sekitar. Tidak ada sholat magrib berjama'ah, sholat Isya, sholat tarawih, mendengarkan kultum, tadarus Al Qur'an, sholat Subuh berjama'ah.
Di malam 10 hari terakhir tidak ada i'tikaf, berdiam diri, instrospeksi dan memohon ampunan di masjid. Zakat fitrah tetap dilayani panitia, tetapi sholat Idul Fitri ditiadakan, termasuk bersalaman, sambil cipika cipika minta maaf serta silaturahmi.
Kondisi tidak normal dengan pembatasan dan ketentuan dari pemerintah, Â berlakunya PSBB, larangan mudik, bekerja, sekolah/kuliah, dan beribadah dari rumah, semuanya agar pandemi Covid-19 segera berakhir. Harapannya suasana kembali normal seperti sebelum ada wabah Covid-19.
Jutaan pekerja di sektor informal mengalami titik terendah untuk memenuhi kebutuhan pokok khususnya makan. Mereka kehilangan pekerjaan dan pendapatan, tidak mempunyai tabungan, karena upah harianya hanya cukup untuk membeli makan beserta keluarga kecilnya.
Mereka tidak berdaya, karena modalnya lebih mengandalkan otot/tenaga, daripada otak/pikiran. Mereka membutuhkan uluran tangan agar dapat bertahan hidup. Dalam kondisi keprihatinan, ketidakpastian karena pandemi Covid-19, perlu rasa solidaritas, kesetiawanan sosial, bergotong royong, bergandengan tangan antara yang kelebihan harta dengan yang kekurangan.
Dalam suasana tidak menentu, banyak PHK, dirumahkan tanpa jaminan, sementara kebutuhan makan tidak dapat ditunda, menjadi momen tepat untuk "olah rasa", introspeksi, menunjukkan rasa setia kawan dan mensyukuri nakmatNya. Bagi yang mempunyai kelebihan harta benda, mencoba menahan diri, menahan nafsu belanja secara berlebihan di bulan puasa ini dan menghadapi lebaran.
Artinya, kalaupun mampu untuk belanja di mall, toko, pasar tradisional, dapat menjaga, menahan nafsu tidak "lapar mata". Lebih terpuji, membeli kebutuhan, bukan hanya untuk keluarga, tetapi berbagi paket sembako untuk tetangga kanan kiri, saudara, lingkungan sosial yang lebih membutuhkan.
Sisihkan dan belanjakan harta yang dimiliki untuk membantu sesama yang kekurangan. Berbagi itu indah, menyenangkan dan melegakan hati. Walau yang dibagi tidak seberapa, tetapi bagi yang membutuhkan nilainya sangat besar. Â
Walau berbagi itu menyenangkan, indah, dan membahagiakan, diakui tidak semua orang dapat melakukan. Untuk dapat berbagi perlu membuka mata hati dan mata rasa, sehingga dapat merasakan orang yang tidak memegang uang sepeserpun padahal tetap harus makan. Mereka terbiasa puasa bukan karena bulan Ramadan, tetapi semata tidak ada makanan yang bisa dimakan dan uang yang dipegang.
Hebatnya pantang menengadahkan tangan, karena meminta adalah mengusik harga dirinya. Jadi masa pandemi Covid-19 bertepatan dengan bulan puasa Ramadan, menjadi momen spesial untuk mengaplikasikan rasa kesetiakawanan, menumbuhkan kegotong royongan, agar dapat berbagi apa yang dimiliki untuk yang membutuhkan.
Kalau sudah ada niat, pasti ada jalan untuk berbagi apa yang dimiliki bisa berupa uang yang paling simple, fleksibel, dan praktis. Andai sendiri itu berat, dapat mengajak teman, komunitas, yang mempunyai visi dan misi sama untuk berbagi. Biasanya kalau bergabung untuk berbagi sudah ada panitia yang mengurusi tinggal tranfer, yang penting ikhlas.
Ada juga yang awalnya inisiatif sendiri dengan cara sederhana seperti yang dilakukan seorang ibu di daerah Sleman, menyediakan bahan sayur dalam tas kresek digantung di jalan desa. Lama-lama ada yang bergabung untuk ikut berbagi, sehingga variasi sayuran dan jumlah kantong plastik bertambah.Â
Siapapun boleh mengambil, tetapi harapannya adalah orang yang benar-benar membutuhkan. Kalaupun tidak tepat sasaran yang mengambil, itu bukan ranah penyedia sayuran, tetapi kata hati si pengambil. Pantaskah kalau orang mampu secara materi dengan sengaja mengambilnya ?. Â Â
Yogyakarta, 8 Mei 2020 Pukul 11.16
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H