Mohon tunggu...
Sri Rumani
Sri Rumani Mohon Tunggu... Pustakawan - Pustakawan

Rakyat kecil, bukan siapa-siapa dan tidak memiliki apa-apa kecuali Alloh SWT yang sedang berjalan dalam "kesenyapan" untuk mendapatkan pengakuan "profesinya". Sayang ketika mendekati tujuan dihadang dan diusir secara terorganisir, terstruktur, dan konstitusional... Email:srirumani@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Bahasa Daerah untuk Sosialisasi Bahaya Covid-19

8 April 2020   20:27 Diperbarui: 8 April 2020   21:25 373
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi:www.tirto.id/Ibnu Azis

Munculnya wabah Virus Corona atau Covid-19 di Wuhan Propinsi Hubei China pada awal Desember 2019 telah menyebar di 185 negara, sungguh menguras energi, pikiran, bagi para pemimpin di dunia, termasuk WHO. 

Menghadapi wabah yang belum ada obatnya ini para pimpinan dihadapkan pada pilihan yang sangat berat dan dilematis antara "nyawa manusia" dan dampak ekonomi, sosial, budaya.

Di Indonesia orang yang terpapar Covid-19 (per 8/4/2020) berjumlah 2.956 oerang, meninggal 240 orang sembuh 222 orang, dirawat 2.494 orang. Covid-19 telah menyebar di 19 propinsi, khusus di DKI Jakarta ada 1.470 orang, Jabar 365 orang, Banten 212 orang dan Jatim 196 orang (https://nasional,kompas.com).

Covid-19 ini dapat menyerang siapa saja tanpa pandang orang kaya, miskin, status sosial, agama, pandangan politik, suku, warna kulit, usia. Menurut dokter penularan selain melalui droplets saat batuk dan bersin, perilaku hidup sehat dan bersih belum menjadi budaya, interaksi dengan banyak orang, tidak isolasi diri dari wilayah pandemi, dan kurangnya pemahaman tentang Covid-19. 

Kebiasaan dan perilaku hidup bersih (mencuci tangan yang benar dengan sabun), sudah diajarkan di sekolah sejak dini (PAUD, TK, SD). Perlu kolaborasi untuk berlangsungnya kebiasaan ini ketika anak ada di keluarga dan masyarakat sebagai "Tri Pusat Pendidikan". Pola hidup sehat untuk menjaga stamina sehingga imunitas badan dapat melawan virus ini.

Sebagai jenis penyakit baru, tidak heran bila masyarakat belum paham apa, siapa, dimana, kapan, kenapa, dan bagaimana virus ini dapat menyebar antar orang dengan orang lain. 

Walaupun media massa (cetak dan eletronik) melalui para ahlinya terus mensosialisasikan Covid-19 agar dipahami cara penyebaran dan pencegahannya. Berbagai kebijakan sudah dikeluarkan ada Undang-undang No.6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, Peraturan Pemerintah No.21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Selain itu Maklumat Kapolri No.Mak/2/III/2020 tentang Kepatuhan Terhadap Kebijakan Pemerintah dalam Penanganan Penyebaran Virus Corona.  

Untuk menyampaikan pesan dan penjelasan tentang Covid-19 Kepala Gugus Tugas Percepatan Penangan Covid-19 Doni Monardo telah meminta sosialisasi tidak hanya dengan bahasa Indonesia tetapi bahasa daerah. Hal ini agar masyarakat lebih mudah memahami bahaya dan pencegahan meluasnya Covid-19. 

Di Indonesia tahun 2018 memiliki 750 bahasa yang berada di 34 propinsi (https://kompas.com 21/02/2020). Tentu bahasa daerah hanya dapat berfungsi dengan baik bila melibatkan warga lokal yang sudah fasih dan memahami karakter masyakarat setempat. Jadi masyarakat tidak hanya menjadi obyek, tetapi subyek sosialisasi Covid-19. 

Perlu ada kerja sama aparat, tokoh masyakarat, dan warga supaya sosialisasi dapat efektif. UU, Peraturan Pemerintah dan Maklumat Kapolri sudah cukup menjadi payung hukum untuk melakukan sosialisasi, pencegahan dan tindakan supaya memutus mata rantai penyebarannya.

Menghadapi masyarakat yang heterogen sosialisasi, pesan, penjelasan yang disampaikan dengan bahasa daerah yang mudah dipahami, dimengerti lebih efektif daripada bahasa yang berbunga-bunga, ambigu, apalagi PHP (Pemberi Harapan Palsu). 

Biasanya bahasa sehari-hari yang disampaikan oleh pimpinan formal dan non formal (tokoh adat, ulama, kyai, pendeta, pastor, bhiksu, wen shi), lebih di dengarkan dan dipatuhi oleh pengikutnya. 

Bahasa daerah yang disampaikan melalui komunikasi persuasif  (membujuk secara halus) lebih mudah dipahami dan dimengerti daripada komunikasi represif (menekan, mengekang).

Tidak ada kata terlambat untuk bersama-sama melawan Covid-19, walaupun korban meninggal dan orang yang terpapar semakin masif bertambah terus setiap hari. Gerakan cepat, dengan strategi tepat menjadi harapan masyarakat dalam menghadapi ketidak pastian kapan berakhirnya wabah ini. 

Ketika sudah ada warga yang disiplin mentaati himbauan pemerintah dengan belajar, bekerja, beribadah di rumah, dengan berdoa, berharap kondisi ini segera berakhir dan wabah Covid-19 lenyap. 

Namun disisi lain masih warga karena "terpaksa" harus berkegiatan di luar rumah demi memenuhi kebutuhan hidupnya. Andaikan disuruh memilih mereka akan mengikuti tinggal di rumah, namun kebutuhan perut mengalahkan ketakutan dan kekhawatiran terpapar Covid-19.  

Menghadapi situasi seperti ini, para relawan cepat bergerak baik sendiri maupun terkoordinir membuka dompet peduli, memberi bantuan nasi bungkus/box, beras, minyak, telur, mie instan kepada pengendara ojol, tukang sapu jalanan, buruh bangunan, petugas kebersihan, tukang  parkir, tukang becak, penjual koran eceran. 

Jiwa gotong royong menghilangkan sekat agama, politik, budaya, lingkungan sosial, komunitas. Para medis sebagai garda terdepan yang kekurangan APD, masker dan mendapat perlakuan/stigma masyarakat yang menolak pulang ke rumah/kosnya, perlu mendapat bantuan.

Kesadaran perikemanusiaan itu muncul apabila disampaikan dengan bahasa yang sejuk, enak didengar, menyentuh sanubari terdalam sehingga tergerak hatinya untuk memberikan sebagian kecil hartanya. 

Selain itu penyampaian penjelasan tentang Covid-19 secara terus-menerus yang dilakukan para tenaga medis, tokoh masyarakat, tokoh agama dengan bahasa, istilah, dan peragaan yang mudah dimengerti, mereka pasti mentaati himbauan dari pemerintah. 

Berubah perilaku hidup bersih dengan cuci tangan memakai sabun, menyantap makanan sehat bergizi seimbang, menutup mulud dan hidung saat batuk dan bersin, jaga jarak aman, tinggal di rumah. Artinya masyarakat paham betul tentang Covid-19, cara pencegahan dan penanggulangannya.

Selama ini informasi yang beredar dimasyarakat kurang lengkap, ditambah dengan berseliweran hoax lewat smartphone secara tidak terkendali. Walaupun pihak berwajib sudah melakukan patroli penyebar hoax dan menangkap para pelakunya untuk dikenai sangsi pidana, namun informasi simpang siur itu masih marak.

Seakan semua orang menjadi ahli dan "merasa" bangga menyebarkan informasi tanpa dipikir dan di cek kebenarannya. Dalam situasi demikian, muncul masyarakat yang mewaspadai, bersikap hati-hati, berpikir logis dengan wabah Covid-19. 

Namun ada yang melakukan tindakan preventif  berlebihan tanpa didasari pengetahuan dan informasi valid, sehingga menutup  gang/jalan masuk suatu wilayah RT dengan tulisan "lock down", menolak jenazah korban Covid-19. Padahal warga di lingkungan itu pun tidak memahami apa arti istilah "lock down". Sungguh kondisi memprihatinkan di saat mewabahnya Covid-19. 

Yogyakarta, 8 April 2020  Pukul 18.30

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun