Berita viral di media sosial, lulusan universitas terkenal menolak gaji sebesar Rp 8 juta. Disisi lain ribuan lulusan perguruan tinggi belum mendapatkan pekerjaan karena lowongan pekerjaan dengan orang yang mencari kerja lebih banyak orangnya.Â
Hal ini bisa terjadi karena antara lulusan perguruan tinggi dengan yang bidang kebutuhan  kurang atau tidak cocok. Akibatnya setiap tahun terjadi pengangguran tidak kentara dari lulusan S1, belum lulusan jenjang SMA/SMK. Lulusan SD dan SMP "nyaris" sudah tidak ada porsinya.kecuali di sektor informal.
Kondisi ini di era Mendikbud Wardiman Djojonegoro dikenal tidak ada "link and match". Ada kesetaraan dan kecocokan antara  bidang studi yang ditempuh dengan kebutuhan lulusannya.Â
Disatu sisi terjadi surplus lulusan dari jurusan tertentu, disisi lain lowongan jurusan tersrbut semakin berkurang, bahkan tidak diperlukan karena sudah tergantikan oleh mesin, sebagai konsekuensi perkembangan teknologi informasi dan komunikasi.Â
Selain itu dapat terjadi jurusan-jurusan yang sudah "jenuh", tetap menghasilkan lulusan banyak seperti hukum, ekonomi, sehingga terjadi persaingan semakin ketat dan berat.
Apalagi penerimaan untuk mencari tenaga yang kompeten dibedakan kelompok  penyandang "cum laude", yang dengan tidak cum laude, tanpa melihat status perguruan tinggi. Tanpa maksud merendahkan apalagi meremehkan  ada perguruan tinggi swasta yang lulusannya hampir  separuh berstatus cum laude.Â
Padahal di perguruan tinggi terakreditasi baik dan menduduki peringkat atas untuk dapat meraih  status  cum laude harus sangat susah dan perlu pengorbanan.
Hal ini mengingat kalau dicermati  bobot nilai cum laude itu sejatinya tidak standar, artinya bobot nilai A tidak sama disetiap perguruan tinggi, walau pun sama-sama kalau dikonversi dengan angka mempunyai  nilai 4. Banyak faktor yang mempengaruhi, salah satunyadosen  berperan signifikanÂ
Persoalan muncul ketika lulusan perguruan tinggi yang sudah memegang ijazah setelah melalui proses perkuliah dan pratikum panjang ternyata tidak pernah dibutuhkan lowongan pekerjaan sesuai dengan ibadahnya. Â
Contoh ada program studi gizi jenjang S1 di berbagai PTN dan PTS, tetapi yang dibutuhkan  cukup dengan kualifikasi D3 atau D4. Terus kemana para lulusan gizi berlabuh?. Melanjutkan sekolah profesi, bekerja bukan bidangnya dengan konsekwensi memakai ijazah SMA, sekolah S2, atau menikah ?.Â
Demikian juga program studi yang lain, dibuka jenjang S1 (keahlian) realita yang dibutuhkan cukup D3 (keterampilan). Masih ada lulusan program studi lain yang mirip kasusnya program gizi. Padahal diketahui masih banyak persoalan gizi yang terjadi di Indonesia (stunting, BBLR, rawan gizi, dll).Â
Masih ada lulusan program S1 perpustakaan yang nasibnya seperti lulusan gizi. Sudah menghasilkan lulusan S1 perpustakaan tetapi kondisi perpustakaan  masih "relatif" belum banyak berubah. Kecuali perpustakaan perguruan tinggi yang mulai menunjukkan arah kemajuan.Â
Pustakawan bukannya dari lulusan ilmu perpustakaan, tetapi diambilkan dari PNS yang sudah bekerja di-"inpasisng" masuk menjadi pustakawa  sesuai syarat dan ketentuan. Artinya tidak perlu dibuka lowongan untuk lulusan S1 perpustakaan, tetapi mengangkat orang yang sudah ada.Â
Apapun alasannya kondisi ini seakan "memaksakan" pòsisi pustakawan diduduki oleh orang-orang yang tidak mempunyai latar belakang pendidikan  ilmu perpustakaan.Â
Lucunya untuk menjadi pustakawan hanya perlu diklat selama 3 bulan, padahal belajar ilmu perpustakaan minimum butuh waktu 3,5 sampai 4 tahun. Sungguh kondisi yang ironis karena berlakunya "politik kebijakan". Akibatnya kondisi berbagai jenis perpustakan di Indonesia tetap stagnan.
Kembali ke persoalan kompetensi atau pengalaman untuk lulusan baru dari perguruan tinggi. Idealnya memang keduanya yang dituntut dunia kerja saat ini. Kompetensi diperoleh selama menuntut ilmu di perguruan tinggi, sedang pengalaman  diperoleh di "universitas kehidupan".Â
Artinya selama berstatus menjadi mahasiswa wajib mencari pengalaman sebanyak-banyaknya selain di lingkungan  kampus dapat diperoleh di luar kampus, dilingkungan sosial dimana dan dari mana mereka berada. Persoalan "soft skill" tidak dapat instan, tetapi perlu waktu dan proses.Â
Paling tepat soft skill dimulai sejak dini usia SD, sehingga begitu lulus perguruan tinggi sudah siap memasuki dunia kerja yang sangat berbeda dengan dunia kuliah.Â
Masalahnya lara lulusan bà ru  mulai tersadar saat masuk di dunia kerja yang terbentur dengan persoalan wawancara, isi CV standar tidak ada yang dapat "dijual" dan menarik bagi perusahaan multi  nasional, BUMN, PNS, atau di lingkungan Swasta.Â
Kompetensi tinggi dan pengalaman yang menarik menjadi modal untuk masuk jalan tol dunia kerja. Tidak percaya ?. Silahkan dibuktikan, masih kuliah pun sudah mendapat "kursi" di perusahaan atau perkantoran.
Centre Point Sukhumvit, 29 Juli 2019 pukul 08.19
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H