Mohon tunggu...
Sri Rumani
Sri Rumani Mohon Tunggu... Pustakawan - Pustakawan

Rakyat kecil, bukan siapa-siapa dan tidak memiliki apa-apa kecuali Alloh SWT yang sedang berjalan dalam "kesenyapan" untuk mendapatkan pengakuan "profesinya". Sayang ketika mendekati tujuan dihadang dan diusir secara terorganisir, terstruktur, dan konstitusional... Email:srirumani@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Perlukah Pemilih Mengetahui Identitas Eks Caleg Koruptor di TPS?

1 Maret 2019   21:48 Diperbarui: 1 Maret 2019   23:25 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pesta demokrasi untuk memilih caleg dan pilpres tinggal menghitung hari, yang akan dilaksanakan dilaksanakan 17 April 2019. Sudah siapkan dengan pilihan sesuai dengan hati nurani ?. Siap tidak siap harus siap untuk memilih. 

Siapa pilihan kita, tidak perlu diumumkan lewat media sosial maupun secara lisan diucapkan di lingkungan sosial. Bukankah pemilu itu bebas tetapi rahasia ? Seperti yang selama ini menjadi asas pemilu langsung, umum, bebas, rahasia (luber), jujur, adil (jurdil).

 Di bilik suara nanti hanya suara hati yang mengarahkan paku untuk mencoblos gambar siapa, tanpa ada pihak lain ikut campur tangan atau mengintimidasi.

Sebelum memilih semestinya pemilih sudah mempunyai referensi nama-nama para caleg  lengkap dengan identitas dan latar belakangnya. Para caleg tersebut kalau terpilih akan mengemban amanah  menyuarakan suara rakyat, bukan suara pribadi, kelompok, golongan dan kroninya. 

Duduk di kursi empuk, ruangan ber AC, gaji, menikmati segala fasilitas negara, semestinya selalu ingat rakyat yang mengantarkan untuk mendapatkan semua itu. Ingat ketika kampanye memberikan janji-janji indah, mempesona dan memberi harapan. Setelah terpilih secara sah ditetapkan sebagai anggota legislatif, disumpah sesuai dengan agama dan dibawah/disamping kitab sucinya, apakah etis melupakan janji-janjinya dan sering "mangkir" menghadiri sidang ?. 

Bagaimanapun janji adalah hutang yang harus dilunasi (direalisasikan), walaupun diakui memerlukan perjuangan dan argumentasi yang logis dapat diterima akal sehat.

Oleh karena itulah untuk menjadi caleg semestinya disyaratkan minimal lulusan S1 bukan SMA, agar logika berpikirnya runtut, jelas, mudah diterima orang lain, mempunyai landasan untuk memperkuat ulasannya. Bukan yang asal bunyi (asbun), provokatif, menyerang lawan, menang-menangan, suara lantang berapi-api sampai keluar otot lehernya dan menimbulkan ujaran kebencian. 

Apalagi hal itu disampaikan di layar kaca yang dapat dilihat dan didengarkan oleh siapapun (termasuk anak-anak). Sangat tidak elegan bukan ?. Memberi contoh yang kurang baik untuk generasi penerus bangsa. Berbantah-bantahan, perbedaan pendapat itu sah-sah saja, wajar, karena setiap orang mempunyai pemikiran yang tidak sama. 

"Rambut sama-sama hitam, hati masing-masing", artinya setiap orang mempunyai pemikiran yang berbeda. Perbedaan adalah kodrati, harmoni yang indah, pelangi yang warna-warni memberi pemandangan indah dan menyenangkan bukan menakutkan dan membosankan.

Kembali ke masalah pemilih, perlu mengetahui identitas caleg, supaya tidak seperti "membeli kucing dalam karung". "Tidak kenal maka tidak sayang", artinya perlu mengenal identitas secara wajar, sifat, sikap, perilaku, jati diri. 

Demikian juga caleg semestinya mengenal konstituennya, sehingga ada sinergi harmonis, memahami permasalahan di akar rumput bukan sedekar ABS (Asal Bapak Senang), AIS (Asal Ibu Senang). Diakui KPU sudah mengumumkan nama dan identitas para caleg lewat media massa (cetak dan elektronik). 

Masalahnya, terlalu banyak yang harus dicermati satu persatu nama dan identitas para caleg, memerlukan waktu dan energi. Apalagi yang di media cetak dengan huruf ukuran font 8, terlalu kecil, perlu kaca pembesar ( tidak banyak yang memiliki  kaca pembesar). Kalau diumumkan secara digital melalaui website http://kpu.go.id, diragukan generasi "baby boommer" kurang familiar dengan website. 

Hanya sedikit orang yang suka bertanya kepada anak-cucu dan bersedia mempelajari teknologi digital. Selain itu tidak semua pemilih di Indonesia "melek internet", dan belum semua daerah terjangkau internet.

Akhirnya pemilih benar-benar kurang informasi siapa nama caleg, dari partai apa, nomor berapa, untuk wilayah dapil mana, dan identitas pribadi. Gelar akademik berderat pun belum jaminan caleg juga  memiliki kecerdasan emosional dan spiritual secara seimbang.  

Apalagi untuk caleg eks koruptor kalau tidak diinformasikan di TPS, atau minimum diberi tanda dengan warna mencolok tentu para pemilih tidak mengerti kalau yang dicoblos ternyata eks koruptor. Apakah mantan koruptor tidak berhak dipilih ?. Masih ada silang pendapat antara KPU dan Bawaslu, dan para tokoh politik, tentu dengan argumen masing-masing. 

MA akhirnya memutuskan mantan koruptor boleh menjadi caleg. Masalah selanjutnya muncul, bolehkah mantan koruptor diumumkan di TPS ?. Lagi-lagi ada silang pendapat, dan KPU sudah mengumumkan melalui http://kpu.go.id, ada 41 orang yang resmi masuk daftar caleg untuk tingkat DPRD dan DPD. Nama-nama caleg mantan koruptor sudah diumumkan, tinggal pemilih bagaimana sikap pemilih kembali bertanyalah pada suara hati.   

Yogyakarta, 1 Maret 2019 Pukul 21.20

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun