Masalahnya, terlalu banyak yang harus dicermati satu persatu nama dan identitas para caleg, memerlukan waktu dan energi. Apalagi yang di media cetak dengan huruf ukuran font 8, terlalu kecil, perlu kaca pembesar ( tidak banyak yang memiliki  kaca pembesar). Kalau diumumkan secara digital melalaui website http://kpu.go.id, diragukan generasi "baby boommer" kurang familiar dengan website.Â
Hanya sedikit orang yang suka bertanya kepada anak-cucu dan bersedia mempelajari teknologi digital. Selain itu tidak semua pemilih di Indonesia "melek internet", dan belum semua daerah terjangkau internet.
Akhirnya pemilih benar-benar kurang informasi siapa nama caleg, dari partai apa, nomor berapa, untuk wilayah dapil mana, dan identitas pribadi. Gelar akademik berderat pun belum jaminan caleg juga  memiliki kecerdasan emosional dan spiritual secara seimbang. Â
Apalagi untuk caleg eks koruptor kalau tidak diinformasikan di TPS, atau minimum diberi tanda dengan warna mencolok tentu para pemilih tidak mengerti kalau yang dicoblos ternyata eks koruptor. Apakah mantan koruptor tidak berhak dipilih ?. Masih ada silang pendapat antara KPU dan Bawaslu, dan para tokoh politik, tentu dengan argumen masing-masing.Â
MA akhirnya memutuskan mantan koruptor boleh menjadi caleg. Masalah selanjutnya muncul, bolehkah mantan koruptor diumumkan di TPS ?. Lagi-lagi ada silang pendapat, dan KPU sudah mengumumkan melalui http://kpu.go.id, ada 41 orang yang resmi masuk daftar caleg untuk tingkat DPRD dan DPD. Nama-nama caleg mantan koruptor sudah diumumkan, tinggal pemilih bagaimana sikap pemilih kembali bertanyalah pada suara hati. Â Â
Yogyakarta, 1 Maret 2019 Pukul 21.20
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H