Jamak yang terjadi pertunjukkan itu ada di suatu tempat, waktu, ruang tertentu, yang melibatkan seniman dan penonton. Ondel-ondel adalah  bentuk pertujukan rakyat khas Betawi sering ditampilkan dalam pesta-pesta rakyat. Ondel-ondel memerankan leluhur nenek moyang yang senantiasa menjaga anak cucu atau penduduk suatu desa.Â
Bentuknya berupa boneka tinggi 2,5 meter, garis lingkar 80 cm, terbuat dari anyaman bambu diberi baju untuk laki-laki topeng wajahnya dicat merah dan perempuan dengan cat putih, rambutnya dari ijuk. Musik pengiring berupa tanjidor, bende yang dimainkan dalam suatu pertunjukkan untuk mengisi acara atau menjamu tamu kehormatan.
Bagi anak kecil walau bentuknya boneka tetapi karena tinggi besar dapat menakutkan. Masih ingat ketika ponakan takut dengan ondel-ondel, ketika melihat pasti ngacir atau bersembunyi dibalik orang dewasa.Â
Namun anak kecil yang tidak takut dengan ondel-ondel, bahkan menggoda dan mengajak bermain, atau foto bareng. Apapun persepsi anak-anak kecil tentang ondel-ondel, pastinya sebagai pertunjukan seni dan budaya khas Betawi perlu dilestarikan keberadaannya, supaya anak-cucu mengenal dan bangga mempunyai warisan leluhur yang dikenal dunia.
Masalahnya, ondel-ondel saat ini sering ditemukan di jalan-jalan kampung di daerah Jakarta dan sekitarnya. Para pelaku melakukan ngamen dengan kostum ondel-ondel semata-mata untuk mengisi perut yang kosong dengan cara halal dan bukan meminta-minta.Â
Kreativitasnya patut diapresiasi, masalahnya tindakannya itu tanpa disadari justru dapat merendahkan pertunjukan khas Betawi karena sebagai alat mengamen. Disisi lain juga menganggu lalu lintas di jalan apalagi di daerah macet, mengingat ondel-ondel perlu ruang gerak yang lebih luas. Â
Dalam hal ini bila ada ondel-ondel ngamen di jalanan, bagaimana sikap yang berwenang melihat fenomena ini, seperti buah simalakama. Kalau melarang semestinya bukan hanya melarang tanpa dicarikan solusi. Mereka melakukan itu untuk menghidupi keluarganya, yang tidak mempunyai pekerjaan tetap.Â
Dilain pihak kebutuhan untuk makan sekedar mengisi perut tidak bisa ditunda. Apalagi mereka tidak mempunyai keterampilan, kompetensi atau jejaring (networking), untuk menghasilkan uang. Satu-satunya pekerjaan yang bisa dilakukan mengamen ondel-ondel di jalanan. Kalaupun mereka para perantau yang datang ke ibu kota Jakarta, tidak sekedar dikembalikan ke daerah asalnya.
Disisi lain bila didiamkan, mereka beranggapan karena tidak ada larangan, hanya didiamkan sehingga berjalan terus, bahkan menarik pemain baru di jalan lain. Dampaknya, selain menganggu ketertiban di jalan raya, juga dapat menimbulkan kemacetan, karena ruas jalan sempit.Â
Laju kendaraan tidak lancar karena ondel-ondel di jalanan itu memakan badan jalan. Suasana berkendara yang tidak nyaman memicu seseorang menjadi mudah marah, tidak sabaran, dan dapat menimbulkan perselisihan diantara pemakai jalan.
Dalam hal ini pihak DLLAJR, dinas sosial, dinas kedudayaan dan instansi yang terkait lainnya perlu duduk bersama untuk memecahkan persoalan ondel-ondel yang mengamen di jalan. Kalau memang ondel-ondel masih diakui sebagai budaya yang perlu dilestarikan, maka para pemain di jalanan itu dapat direkrut untuk dipekerjakan dalam komunitas kesenian ondel-ondel.Â