Moda transportasi darat dengan kereta api kembali dilirik konsumen, selain rasa aman, nyaman, dengan pelayanan yang terus meningkat, pastinya musibah Lion JT 610 menjadi pertimbangan tersendiri.
Walaupun meyakini takdir seseorang adalah hak prerogatif Sang Khalik, pemilik dan sekaligus penguasa alam semesta. Sejenak melupakan bepergian naik dengan pesawat, entah sampai kapan orang melupakan musibah Lion JT 610, dan kembali ke pesawat. Tentunya jarak tempuh yang lebih cepat bila naik pesawat, sampai hari ini diakui masih lebih cepat dibanding dengan moda transportasi darat dan laut.
Jarak tempuh naik kereta api Yogyakarta - Jakarta selama 7 (tujuh) jam relatif lebih lama dibandingkan dengan pesawat yang perlu waktu 1 (satu) jam. Perbedaan waktu tempuh ini menjadi pertimbangan utama bagi orang dengan mobilitas sangat tinggi.
Apalagi bagi para pebisnis yang berlaku semboyan:”Time is Money”, waktu adalah uang. Ketika jarak tempuh dari satu kota ke kota lain yang lama, berdampak pada kekecewaan mitra bisnis, artinya dapat menggagalkan konktrak kerja yang telah disepakati. Kesempatan itupun dapat hilang, apalagi kesempatan itu kata orang bijak tidak datang dua kali.
Berbeda dengan orang yang bepergian tanpa terpaku jadwal kegiatan ketat, waktu tempuh yang lama itu sekaligus dapat menjadi refreshing dari rutinitas yang dilakukan selama ini. Perjalanan dimulai jam 08.00, dari stasiun Tugu Yogyakarta diperkirakan sampai stasiun Gambir jam 15.46.
Selama perjalanan yang diawal menyenangkan, semakin lama muncul rasa bosan. Sesekali membuka gadget, sambil ngobrol di sosial media, karena kursi sebelah kosong jadi lebih leluasa. Pandangan mata juga kadang melihat luar lewat jendela yang besar dengan kaca bersih karena tidak ada lagi kaca retak seperti jaman dulu yang sering menjadi sasaran lemparan batu orang iseng.
Hamparan sawah habis panen dengan kegiatan petani membakar jerami yang justru merusak humus dan membuat polusi udara, sungguh pemandangan yang kurang enak dimata.
Selain itu rumah-rumah penduduk dengan cat tembok yang warnanya menyolok, dengan arsitektur bangunan bernuansa rumah model kampung, satu dua ada yang benbentuk limasan, dengan satu atau dua lantai.
Satu hal yang menjadi ciri khas di pinggir rel kereta apai, bangunan semi permanen yang tidak teratur, atap dari seng, padat, dan kebersihannya kurang terjaga dengan ban bekas, sampah berserakan dimana-mana.
Dalam batin cuman dapat berguman, siapa yang bertanggung jawab mengatur tata ruang disekitar rel kereta api. Seakan tidak “tersentuh” oleh program-program pemerintah yang selalu mendengungkan hidup bersih dan sehat.
Kepikiran bagaimana sumber air bersih, dan kabel-kabel listrik yang kelihatan tidak teratur, sungguh sangat kasihan warga yang tinggal di sepanjang perjalanan rel kereta api. Semakin mendekati stasiun, kondisi rumah-rumah semi permanen semakin padat dan kurang tertata rapi. Jemuran pakaian yang digantung pada hanger menjadi pemandangan perjalanan ini, mengingat terbatasnya lahan bangunan yang dimiliki atau dihuni.
Kondisi ini sangat jauh berbeda dengan ruangan kereta yang ber AC, bersih, terang, rapi, toilet bersih dengan air yang cukup. Intinya naik kereta saat ini lebih aman, nyaman, tenang, dan pelayanan yang ramah, sopan, senyum, pokoknya pelayanan prima yang berbasis teknologi informasi dan komunikasi.
Pengecekan tiket tidak lagi dengan meminta tiket KA yang dilubangi dengan alat khusus sebagai tanda telah di cek, tetapi kondektur cukup melewati kursi penunpang dengan melihat gadget.
Seragam yang rapi, menjadikan masisis dan kondektur kereta semakin gagah. Demikian juga petugas restorasi yang sigap dan ramah melayani pembeli minuman dan makanan di atas kereta. Kebersihan lorong kursi dan jalan diantara kursi kelihatan selalu bersih karena ada petugas yang mengambil sampah dimasukkan kantong plastik besar.
Reformasi pelayanan di perjalanan dengan kereta ini sangat terasa sekali dibandingkan dengan sebelum ada reformasi. Waktu itu penumpang sangat tidak aman karena banyak pencopet, tidak nyaman karena pengamen, pedagang asongan yang hilir mudik dengan menawarkan barang dagangan.
Suara dari cabin masinis sejak sebelum berangkat, yang memperkenalkan nama masinis dan kondektur, informasi- informasi yang berguna bagi penumpang dengan suara lembut serasa seperti naik pesawat. Jadi perjalanan panjang ini tanpa terasa sudah sampai di tujuan akhir Gambir. Apalagi bagi para lansia yang usianya sudah lebih dari 60 tahun mendapat reduksi harga tiket sebesar 20 persen dari harga tiket.
Nilainya cukup lumayan tiket Taksaka yang seharusnya Rp 370.000, mendapat reduksi sebesar Rp 74.000,-, jati tinggal membayar Rp 296.000,-. Syarat menunjukkan copy KTP dan membeli tiket di stasiun bagian reservasi, jadi tidak bisa kalau secara online. Reduksi ini minimal dapat meringankan biaya perjalanan, yang belum ada untuk angkutan udara kecuali yang mendapat promo tiket.
Yogyakarta, 13 Nopember 2018 Pukul 08.35
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H