Namun bagi yang sudah melihat kesehariannya, yang menjalani hidup tanpa perencanaan, perhitungan yang cermat dan matang, mengikuti "hawa nafsu", keserakahan duniawi, sombong, kurang menyukuri  karuniaNYa.Â
Mengganggap dengan hartanya orang akan dihormati, disanjung, dihargai, maka mendengar ceritanya "tertipu", tidak percaya begitu saja. Kenapa ?. Bisa jadi dia sendiri yang "menipu" orang lain, demi untuk menutup "akal bulusnya", yang licik memperdaya orang lain. Akhirnya kebohongan itu ditutup dengan kebohongan lainnya, begitu seterusnya. Sangat capai bukan harus membuat cerita kebohongan setiap saat ?.
Bagaimana sikap kita setelah mengetahui teman itu telah membohongi, padahal selama ini menjadi kepercayaan yang sangat diandalkan ?. Ini sungguh-sungguh terjadi, Â dan merasakan betapa dibohongi itu sangat kecewa, marah, sakit hati, benci.Â
Reaksi yang dilakukan mengurangi kepercayaan, membatasi pembicaraan, membuat jarak hubungan pertemanan. Namun bisa juga langsung mengingatkan, menyadarkan, menasehati dari hati ke hati bahwa tindaknnya melakukan kebohongan itu tidak baik, dapat merugikan diri sendiri dan orang lain. Sayang bukan kalau "nilasetitik merusak susu sebelanga" ?
Teman pembohong  yang masih mempunyai hati nurani, dengan senang hati diingatkan, dan kembali ke jalan yang benar serta berjanji tidak akan berbohong lagi.
Namun bila hati nuraninya telah hilang dan mati, sudah kebas rasa, jangankan diperingatkan dan ditegur oleh manusia, ditegur  Sang Pencipta pun masih berkilah "itu namanya takdir". Artinya buah kebohongan yang awalnya manis, enak karena aroma busuknya belum tercium orang lain.Â
Suatu saat pasti terbongkar, karena "sepandai-pandai menyimpan bangkai akan berbasu busuk jua", artinya kebohongan itu walau ditutupi dengan rapat suatu saat pasti akan terungkap. Namanya saja bangkai semakin lama menimbulkan aroma busuk yang tercium oleh banyak orang, walaupun ditutup dan terkunci rapat. Jadi untuk apa melakukan kebohongan kalau membuat hidup tidak tenang, tidak nyaman, bagaikan berjalan di atas tumpukan duri, sakit sekali rasanya. Â
Yogyakarta, 5 Oktober 2018 Pukul 18.08
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H