Mohon tunggu...
Sri Rumani
Sri Rumani Mohon Tunggu... Pustakawan - Pustakawan

Rakyat kecil, bukan siapa-siapa dan tidak memiliki apa-apa kecuali Alloh SWT yang sedang berjalan dalam "kesenyapan" untuk mendapatkan pengakuan "profesinya". Sayang ketika mendekati tujuan dihadang dan diusir secara terorganisir, terstruktur, dan konstitusional... Email:srirumani@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sekali Lagi Soal Kebohongan, Apakah Tenang Hidupnya?

5 Oktober 2018   18:18 Diperbarui: 6 Oktober 2018   08:11 677
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Berita di media massa cetak dan elektronik perhatiannya tersedot ulah "public figure" yang melakukan kebohongan publik. Mengingat tahun politik, sehingga sangat menarik menjadi bahan diskusi (bukan perdebatan), ditengah duka mendalam akibat gempa, tsunami, likuifaksi di Palu, Sigi, dan Donggala Sulawesi Tengah. 

Sebenarnya kebohongan itu pernah dilakukan oleh semua orang, sejujur apapun orangnya, cuma kebohongan di level yang paling ringan dengan membohongi dirinya  sendiri, sehingga yang rugi hanya seorang diri. 

Berbeda bila level kebohongan tingkat sedang, orang sekitarnya kena dampaknya, apalagi kebohongan tingkat tinggi, selain dampaknya meluas yang dirugikan juga banyak orang. "Nama baik" orang yang melakukan kebohongan pun tercemar oleh ulahnya sendiri, karena orang menjadi tidak percaya walaupun yang diomongkan benar.

Penulis bukan ahli soal kebohongan, tetapi berdasarkan pengamatan dan pengalaman dalam pergaulan hidup, disekitar kita sebenarnya banyak pembohong. Cuma tidak terekspos media massa sehingga tidak menjadi viral. 

Hasil pengamatan, pembohong itu hidupnya penuh kepalsuan,  memakai topeng sesuai dengan karakter yang diperankan, mudah berganti wajah, mengikuti kondisi lingkungan, dan penuh trik-trik rekayasa. 

Akibatnya banyak yang tertipu dengan cerita palsu menyedihkan yang membuat "baper", kasihan, timbul niat menolong, membela. Padahal  sejatinya hanya akal-akalan untuk memperdaya agar mendapat simpati dan empati.

Untuk mengetahui cerita itu bohong/palsu, atau asli/beneran, jujur, tanpa rekayasa, tidak perlu memakai ilmu tingkat tinggi, apalagi ilmu kebatinan, cukup memperhatikan isi cerita, kronologis, olah cerita (bukan detektif) secara akal sehat, cek dan ricek, bukti tertulis, informasi yang ada kalau perlu dari banyak sumber referensi yang valid, dapat dipercaya dan up to date. 

Apalagi kalau sudah berinteraksi setiap hari, dengan mudah  dapat diketahui ceritanya bohong atau jujur. Perhatikan sikap duduk, saat berinteraksi, dan mimik/ekspresi  wajah ketika bercerita. 

Bahkan tidak berani bertatap muka, beradu mata, karena gerakan bola mata terlihat saat menjawab pertanyaan. Kalau sudah terkumpul semua, sinyal kebohongan itu dengan mudah terdeteksi, walaupun masih bisa mengelak, tetapi percayalah tindakan itu sudah terekam dengan valid yang nanti tinggal dibacakan di alam keabadian.

Kalau ada teman bercerita diringi tangisan dari seorang "single parent " yang menyentuh bahwa kebangkrutan hidupnya karena telah tertipu sekian milyar oleh mitra bisnisnya, apakah langsung percaya begitu saja? 

Bagi yang tidak pernah  melihat pola hidupnya, dan tidak pernah berinteraksi dalam keseharian, pasti langsung iba, simpati, kasihan, menanggung beban yang sangat berat. 

Namun bagi yang sudah melihat kesehariannya, yang menjalani hidup tanpa perencanaan, perhitungan yang cermat dan matang, mengikuti "hawa nafsu", keserakahan duniawi, sombong, kurang menyukuri  karuniaNYa. 

Mengganggap dengan hartanya orang akan dihormati, disanjung, dihargai, maka mendengar ceritanya "tertipu", tidak percaya begitu saja. Kenapa ?. Bisa jadi dia sendiri yang "menipu" orang lain, demi untuk menutup "akal bulusnya", yang licik memperdaya orang lain. Akhirnya kebohongan itu ditutup dengan kebohongan lainnya, begitu seterusnya. Sangat capai bukan harus membuat cerita kebohongan setiap saat ?.

Bagaimana sikap kita setelah mengetahui teman itu telah membohongi, padahal selama ini menjadi kepercayaan yang sangat diandalkan ?. Ini sungguh-sungguh terjadi,  dan merasakan betapa dibohongi itu sangat kecewa, marah, sakit hati, benci. 

Reaksi yang dilakukan mengurangi kepercayaan, membatasi pembicaraan, membuat jarak hubungan pertemanan. Namun bisa juga langsung mengingatkan, menyadarkan, menasehati dari hati ke hati bahwa tindaknnya melakukan kebohongan itu tidak baik, dapat merugikan diri sendiri dan orang lain. Sayang bukan kalau "nilasetitik merusak susu sebelanga" ?

Teman pembohong  yang masih mempunyai hati nurani, dengan senang hati diingatkan, dan kembali ke jalan yang benar serta berjanji tidak akan berbohong lagi.

Namun bila hati nuraninya telah hilang dan mati, sudah kebas rasa, jangankan diperingatkan dan ditegur oleh manusia, ditegur  Sang Pencipta pun masih berkilah "itu namanya takdir". Artinya buah kebohongan yang awalnya manis, enak karena aroma busuknya belum tercium orang lain. 

Suatu saat pasti terbongkar, karena "sepandai-pandai menyimpan bangkai akan berbasu busuk jua", artinya kebohongan itu walau ditutupi dengan rapat suatu saat pasti akan terungkap. Namanya saja bangkai semakin lama menimbulkan aroma busuk yang tercium oleh banyak orang, walaupun ditutup dan terkunci rapat. Jadi untuk apa melakukan kebohongan kalau membuat hidup tidak tenang, tidak nyaman, bagaikan berjalan di atas tumpukan duri, sakit sekali rasanya.  

Yogyakarta, 5 Oktober 2018 Pukul 18.08

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun