Setiap orang mendengar istilah "kaya" yang terbayang dalam benaknya adalah kekayaan berupa benda bergerak dan tetap. Padahal sejatinya orang itu juga mempunyai kekayaan "intelektual" yang kasat mata, sehingga aman dari incaran para perampok, sepanjang masih berupa ide, gagaan dan pikiran yang belum dituangkan dalam wujud nyata berupa karya cipta, paten, merk dagang, sirkulit terpadu, dll.
Kekayaan yang berupa harta benda didapat dari kerja keras, warisan, hibah (pemberian) berwujud tanah, rumah, mobil, perhiasan (emas, perak, berlian, permata). Orang memiliki harta benda banyak disebut hartawan, jutawan, milyarder, triliuner sebutan ini menunjukkan kekayaan yang dimiliki dinilai dengan "rupiah".
Bekerja keras, tekun, jujur, teliti, cermat, profesional, kompeten, sehingga "pundi-pundi" terus bertambah dan menumpuk. Para pengusaha sukses yang awalnya hidup menderita, karena kerja keras dan cerdas dapat memiliki harta benda untuk "tujuh turunan".
Walaupun ada "mitos" generasi pertama yang merintis usaha, generasi kedua menikmati, generasi ketiga menghabiskan, kenyataannya pengusaha sukses masih mempunyai harta benda yang terus bertambah, tidak akan habis.
Gaya hidup orang kaya memang berbeda dengan orang kebanyakan, walaupun ada orang kaya yang tetap sederhana dan "low profile", bahkan terlalu sederhananya ketika datang di bank, dealer mobil, counter handpone kurang mendapat pelayanan yang baik.
Padahal orang tersebut akan menarik dananya di bank untuk investasi, membeli mobil dengan cash, dan membelikan handphone untuk karyawannya. Penampilan orang kaya yang sederhana sering mendapat penilaan keliru dari lingkungannya.
Namun kesederhanaannya justru oleh lingkungan yang sudah mengenalnya semakin menaruh "rasa hormat" dan "segan", karena tidak pernah memperlihatkan dan mengumumkan harta benda yang dimiliki, berupa apa dan dimana, semua itu tidak penting. Namun memikirkan didonasikan berapa untuk kepentingan umat tanpa perlu mengundang kameramen dan reporter media. Biasa saja kegiatan sosialnya senyap, sepi, dan sendiri. Â
Sebaliknya ada juga orang kaya yang arogan, sombong "jemawa", angkuh karena dengan uang yang dimiliki dibenaknya dapat melakukan dan membeli apa saja yang diinginkan. Apalagi orang kaya baru (OKB), gayanya  norak, aneh, lucu, dan sangat memalukan karena tidak bisa "membaca" situasi dan kondisi.Â
Jadi orang kaya itu juga perlu kecerdasan dan berpengetahuan, agar dapat menyesuaikan baju, padu padan aksesoris yang dipakai. Bukan asal mempunyai uang dapat membeli, dan mengikuti para sosialita yang memang berasal dari keluarga tajir, dari "sononya".
OKB cenderung memakai apa yang dimiliki dan "nafsu" untuk mengumumkan (pamer) kepada semua orang, sehingga mendapat sebutan orang kaya.
Tragisnya OKB itu setelah ditelusur ternyata mendapatkan kekayaan dari cara-cara yang tidak fair dan elegan. Akibatnya kekayaan cepat datang tetapi juga cepat hilang dalam tempo sangat singkat karena mobil, motor diambil dealer.Â
Toko, tanah, bahkan rumahnya yang selama ini ditinggali, disita oleh bank sebagai jaminan utang. Didatangi "debt colector" Â karena kartu kreditnya sudah jatuh tempo telat membayar. Pendaftaran haji dibatalkan pihak bank, sebab dana talangan tanpa bunga pun tidak terbayarkan.Â
Bahkan masuk dalam jurang utang yang semakin dalam karena "terobsesi" untuk cepat menjadi orang kaya. Semua aturan dan larangan diterjang, dilanggar, diabaikan. Pikirannya hanya uang, uang, dan uang, sangat ambisius untuk mendapatkannya tanpa mengenal etika dan tata krama.
Aneh, lucu, norak bahkan ketika ada orang lain membeli mobil, motor, mempunyai perhiasan menjadi "panas dingin", karena kepingin memiliki seperti yang dimiliki orang lain.
Bertanya di mana beli, harganya berapa dan membuat pengumuman akan membeli barang seperti yang dimilki X. Seperti anak kecil ketika temannya mempunyai mainan baru dan kepingin, merengeknya pada suami dan mertuanya.
Hidupnya sangat tidak tenteram dan tidak nyaman karena pikirannya sudah dipenuhi dengan nafsu memiliki kekayaan. Jangankan berpikir halal dan haram, yang jelas-jelas dilarang agama saja dianggap tidak ada dan diterjang. Â
Obsesi menjadi orang kaya terpenuhi dan dirasakan, tetapi hanya sebentar setelah semua yang dimiliki disita bank untuk membayar sebagian utang-utangnya. Padahal ketika menjadi OKB tidak kenal dengan orang (apalagi orang-orang kecil), karena kalau jalan memakai sepatu "high heels", kacamata hitam walau dalam ruangan sehingga tidak tahu kalau ketemu orang dan berjalan tidak lihat bawah tetapi lihat atas.
Belum bualannya yang setinggi langit, dan tipu daya bila ditagih oleh "debt collector", senjatanya dengan air mata buaya dikeluarkan agar si "debt collector" iba dan mengurungkan niatnya untuk menagih. Namun bukan berarti hutang lunas, dengan penjadwalan ulang, diberi waktu jatuh tempo lagi, dan menunggak lagi.
Aneh bukan? di satu sisi OKB itu kepingin disebut orang kaya, tetapi disisi lain dikejar "debt collector". Padahal kekayaan sesungguhnya adalah "kaya hati", walau kaya harta tetap perlu, didapat dengan cara yang halal, baik dan benar.
Yogyakarta, 19 September 2018 Pukul 15.33
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H