Mohon tunggu...
Sri Rumani
Sri Rumani Mohon Tunggu... Pustakawan - Pustakawan

Rakyat kecil, bukan siapa-siapa dan tidak memiliki apa-apa kecuali Alloh SWT yang sedang berjalan dalam "kesenyapan" untuk mendapatkan pengakuan "profesinya". Sayang ketika mendekati tujuan dihadang dan diusir secara terorganisir, terstruktur, dan konstitusional... Email:srirumani@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Mengapa di Perpustakaan Perguruan Tinggi Tak Perlu Pustakawan Utama?

17 September 2018   17:41 Diperbarui: 17 September 2018   17:43 701
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perpustakaan perguruan tinggi ibarat "jantung perguruan tinggi", itu yang sering terdengar tatkala para pemimpin menyampaikan pidato sambutannya dengan penuh semangat. 

Kemudian menceriterakan kehebatan perpustakaan perguruan tinggi di luar negeri ketika menempuh pendidikan doktor, seperti rumah kedua karena waktunya hampir dihabiskan di perpustakaan. Setelah  pulang ke Indonesia, menemukan kondisi perpustakaan dan pustakawannya sangat jauh berbeda, sehingga tidak pernah lagi ke perpustakaan.

Bahkan ketika asesor dari luar negeri akan "visit" ke perpustakaan Fakultas dialihkan rutenya, karena "malu" dengan kondisi perpustakaan seperti"gudang", rak-rak kayu jati  kuno, buku cetak yang halamannya sudah kuning, komputer sering ngadat. Hal ini karena komitmen dan perhatian pimpinan untuk perpustakaan sangat kurang, hanya dibutuhkan ketika ada akreditasi nasional dan internasional. 

Setelah itu ditinggalkan lagi, dan pustakawan beserta staf lainnya antara "ada dan tiada", diremehkan, apalagi dipikirkan pengembangan kariernya. Untuk sekedar mengikuti seminar pun harus mengajukan proposal lengkap dengan argumen hubungan seminar dengan manfaat untuk institusi.

Sementara di luar negeri semua orang sangat memperhatikan perpustakaan dan menghargai profesi pustakawan sebagai mitra kerja sejajar yang sangat berperan dalam memberikan informasi. 

Dalam penelitian,  pustaka materi mengajar, mendeteksi karya tulis termasuk plagiat atau tidak, menelusur artikel di jurnal ilmiah yang terindeks Scopus, kuliah metodologi, bimbingan untuk mahasiswa baru, pustakawan selalu dilibatkan. Bahkan "tandem"  melakukan penelitian, karena pustakawan mempunyai ilmu untuk menelusur dan menemukan informasi terbaru yang dibutuhkan oleh dosen. 

Hal biasa ketika seorang profesor di perpustakaan untuk mengerjakan laporan penelitian, membimbing mahasiswa dan diskusi denga para koleganya. Tidak ada "gab" yang memisahkan antara profesor dengan pustakawan, masing-masing mempunyai peran dan fungsi yang berbeda untuk mencapai tujuan sebagai fakultas/universitas bertaraf internasional yang berbasis riset.

Sedang di dalam negeri pustakawan "seakan" menjadi bawahan profesor yang disuruh-suruh untuk melakukan pekerjaan di luar tupoksi pustakawan.  Di perguruan tinggi, sivitas akademika adalah dosen dan mahasiswa, sedang tenaga kependidikan (tendik) sebagai tenaga penunjang untuk penyelenggaraan pendidikan tinggi antara lain pustakawan, tenaga administrasi, laboran dan teknisi, serta pranata teknik informasi. 

Diakui dosen mempunyai kewajiban untuk melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi (pengajaran, penelitian, dan pengabdian masyarakat), secara tupoksi pun juga tidak sama dengan tendik. Namun bukan berarti dosen sebagai warga kampus eksklusif (first class), dan tendik itu sebagai warga kelas dua (second class).

Akibat ada "anggapan" tendik sebagai warga kelas dua, berdampak pada pengembangan kariernya, padahal tuntutan untuk kenaikan jabatan/pangkat sama harus mengumpulkan angka kredit yang nilainya sama persis dengan dosen. Walaupun tingkat kesulitan dalam mengumplkan angka kredit berbeda, namun dampaknya dirasakan. 

Dosen mendapat prioritas dan fasilitas untuk menghadiri seminar, lokakarya, temu ilmiah, presentasi "call for paper" di dalam dan di luar negeri. Bahkan untuk pengurusan profesor, tendik kepegawaian ditugaskan khusus ke Jakarta agar segera turun SK Presiden, mengingat waktu pensiun sudah semakin mendekat. Tidak heran ketika pidato pengukuhan beberapa hari "pensiun".

Untuk tendik berbeda perlakuannya, sudah jelas waktunya tinggal 6 (enam) bulan perlakuan pengurusan oleh bagian kepegawaian sama, akibatnya berkas terlambat sampai Sekretaris Negara, dikembalikan tanpa ada rasa bersalah dari kepegawaian, bahkan mencari alibi dan pembenar supaya tidak kena sangsi karena ketidak profesional dan kesleborannya mengurus nasib orang. 

Selain itu ada informasi yang penting untuk jabatan pustakawan yang tidak segera disampaikan bahwa telah keluar Permenristek dan Dikti No.49 Tahun 2015 tentang Kelas Jabatan di Lingkungan Kemenristekdikti. Dalam lampiran III hlm 2 No.40 hanya disebutkan pustakawan madya masuk kelas jabatan 11, persediaan pegawai 133. 

Anehnya tidak ada nomenklatur pustakawan utama yang diisi 0 andaikan belum ada yang menduduki jabatan itu, untuk mengantisipasi perubahan.Tidak pernah ada penjelasan secara ilmiah, logis, nalar latar belakang keluar peraturan tersebut. Pustakawan tidak pernah terlibat, tetapi menjadi "obyek" persekusi. Padahal  dalam Permenpan No.18 Tahun 1988 tentang Jabatan Fungsional Pustakawan ditentukan ada jabatan pustakawan utama.

Kalaupun ada Permenristek dan Dikti No.49 Tahun 2015, semestinya bagian kepegawaian yang tahu persis segera mensosialisasikan supaya tidak membuat pustakawan madya tidak bersusah payah mengumpulkan angka kredit dan mengajukan penilaian ke ke pustakawan utama. 

Hal ini baru terungkap ketika ada calon pustakawan utama SK Presiden tidak di proses, bahkan dikembalikan berkasnya karena sudah terlambat dan masuk batas usia pensiun 60 tahun, untuk utama 65 tahun. 

Setelah ditelusur keterlambatan di pihak Kemenristek dan Dikti khususnya bagian kepegawaian, dan instansi pengusul yang menghambat karena "sentimen pribadi" ada "oknum" kepegawaian yang tidak "legowo" kalau pustakawan tersebut pensiun 65 tahun.

Upaya mediasi gagal, akhirnya melaporkan ke Ombusdman RI, dan semakin "kebakaran jenggot" pihak-pihak yang merasa menjadi "terlapor". Sementara pihak Perpustakaan Nasional dan Badan Kepegawaian Negara (BKN) memenuhi panggilan Ombusdman RI tanpa beban karena sudah melaksanakan sesuai kewenangan untuk kelancaran pengurusan pustakawan utama. 

Akhirnya keluarlah Surat Edaran (SE) No.102318/A2.3/KP/2017 tentang Penataan administrasi jabatan fungsional di lingkungan Kemenristekdikti yang ditandatangani Kepala Biro SDM, tertanggal 1 Nopember 2017. Sesuai point 2 dalam SE disebutkan "Khusus bagi kenaikan pejabat fungsional tingkat ahli madya menjadi pejabat fungsional tingkat ahli utama tidak perlu diusulkan karena tidak sesuai dengan Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi No.49 Tahun 2015". 

SE yang ditujukan ke seluruh Rektor Perguruan Tinggi di Indonesia itu, berdampak pada jabatan fungsional pustakawan di Perguruan Tinggi kelas jabatannya hanya sampai Pustakawan Madya, artinya tidak ada lagi jabatan pustakawan utama. Tidak ada penjelasan secara gamblang dan tuntas dari Kemenristekdikti, dan korban pun berjatuhan akibat Permenristekdikti No.49 Tahun 2015 dan SE No.102318/A2.3/KP/2017. 

Artinya kalau aturan sudah jelas demikian bila ada pustakawan madya yang mengajukan pustakawan utama dan di proses serta berhasil mendapatkan SK Presiden berarti tidak sah secara hukum, ilegal dan inkonstitusional, serta wajib dibatalkan dengan segala konsekwensinya (mengembalikan gaji, tunjangan pustakawan dan tukin) yang sudah diterima.

Untuk pustakawan yang telah menjadi korban peraturan, bukan saja kerugian material yang di derita  gagal dan harus pensiun, yang diketahui sangat mendadak. Hal ini bukan masalah tidak "legowo"/tidak ikhlas pensiun, tetapi telah menderita kerugian secara moral, profesi, pikiran, tenaga, psikis dan fisik. 

Pernahkan kondisi ini terpikirkan oleh orang-orang bagian kepegawaian yang seharusnya memberi pelayanan sesama tendik di perguruan tinggi. Pindah di departemen lain pun tidak semudah membalik tangan dan selesai urusan, selain formasi itu khusus untuk departemen yang telah membuat, "lolos butuh" dari perguruan tinggi pun tidak segera dikeluarkan. Jadi hanya mendapat Pemberi Harapan Palsu (PHP).

Yogyakarta, 17 September 2018 Pukul 17.36

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun