Mohon tunggu...
Sri Rumani
Sri Rumani Mohon Tunggu... Pustakawan - Pustakawan

Rakyat kecil, bukan siapa-siapa dan tidak memiliki apa-apa kecuali Alloh SWT yang sedang berjalan dalam "kesenyapan" untuk mendapatkan pengakuan "profesinya". Sayang ketika mendekati tujuan dihadang dan diusir secara terorganisir, terstruktur, dan konstitusional... Email:srirumani@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Mengapa di Perpustakaan Perguruan Tinggi Tak Perlu Pustakawan Utama?

17 September 2018   17:41 Diperbarui: 17 September 2018   17:43 701
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Untuk tendik berbeda perlakuannya, sudah jelas waktunya tinggal 6 (enam) bulan perlakuan pengurusan oleh bagian kepegawaian sama, akibatnya berkas terlambat sampai Sekretaris Negara, dikembalikan tanpa ada rasa bersalah dari kepegawaian, bahkan mencari alibi dan pembenar supaya tidak kena sangsi karena ketidak profesional dan kesleborannya mengurus nasib orang. 

Selain itu ada informasi yang penting untuk jabatan pustakawan yang tidak segera disampaikan bahwa telah keluar Permenristek dan Dikti No.49 Tahun 2015 tentang Kelas Jabatan di Lingkungan Kemenristekdikti. Dalam lampiran III hlm 2 No.40 hanya disebutkan pustakawan madya masuk kelas jabatan 11, persediaan pegawai 133. 

Anehnya tidak ada nomenklatur pustakawan utama yang diisi 0 andaikan belum ada yang menduduki jabatan itu, untuk mengantisipasi perubahan.Tidak pernah ada penjelasan secara ilmiah, logis, nalar latar belakang keluar peraturan tersebut. Pustakawan tidak pernah terlibat, tetapi menjadi "obyek" persekusi. Padahal  dalam Permenpan No.18 Tahun 1988 tentang Jabatan Fungsional Pustakawan ditentukan ada jabatan pustakawan utama.

Kalaupun ada Permenristek dan Dikti No.49 Tahun 2015, semestinya bagian kepegawaian yang tahu persis segera mensosialisasikan supaya tidak membuat pustakawan madya tidak bersusah payah mengumpulkan angka kredit dan mengajukan penilaian ke ke pustakawan utama. 

Hal ini baru terungkap ketika ada calon pustakawan utama SK Presiden tidak di proses, bahkan dikembalikan berkasnya karena sudah terlambat dan masuk batas usia pensiun 60 tahun, untuk utama 65 tahun. 

Setelah ditelusur keterlambatan di pihak Kemenristek dan Dikti khususnya bagian kepegawaian, dan instansi pengusul yang menghambat karena "sentimen pribadi" ada "oknum" kepegawaian yang tidak "legowo" kalau pustakawan tersebut pensiun 65 tahun.

Upaya mediasi gagal, akhirnya melaporkan ke Ombusdman RI, dan semakin "kebakaran jenggot" pihak-pihak yang merasa menjadi "terlapor". Sementara pihak Perpustakaan Nasional dan Badan Kepegawaian Negara (BKN) memenuhi panggilan Ombusdman RI tanpa beban karena sudah melaksanakan sesuai kewenangan untuk kelancaran pengurusan pustakawan utama. 

Akhirnya keluarlah Surat Edaran (SE) No.102318/A2.3/KP/2017 tentang Penataan administrasi jabatan fungsional di lingkungan Kemenristekdikti yang ditandatangani Kepala Biro SDM, tertanggal 1 Nopember 2017. Sesuai point 2 dalam SE disebutkan "Khusus bagi kenaikan pejabat fungsional tingkat ahli madya menjadi pejabat fungsional tingkat ahli utama tidak perlu diusulkan karena tidak sesuai dengan Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi No.49 Tahun 2015". 

SE yang ditujukan ke seluruh Rektor Perguruan Tinggi di Indonesia itu, berdampak pada jabatan fungsional pustakawan di Perguruan Tinggi kelas jabatannya hanya sampai Pustakawan Madya, artinya tidak ada lagi jabatan pustakawan utama. Tidak ada penjelasan secara gamblang dan tuntas dari Kemenristekdikti, dan korban pun berjatuhan akibat Permenristekdikti No.49 Tahun 2015 dan SE No.102318/A2.3/KP/2017. 

Artinya kalau aturan sudah jelas demikian bila ada pustakawan madya yang mengajukan pustakawan utama dan di proses serta berhasil mendapatkan SK Presiden berarti tidak sah secara hukum, ilegal dan inkonstitusional, serta wajib dibatalkan dengan segala konsekwensinya (mengembalikan gaji, tunjangan pustakawan dan tukin) yang sudah diterima.

Untuk pustakawan yang telah menjadi korban peraturan, bukan saja kerugian material yang di derita  gagal dan harus pensiun, yang diketahui sangat mendadak. Hal ini bukan masalah tidak "legowo"/tidak ikhlas pensiun, tetapi telah menderita kerugian secara moral, profesi, pikiran, tenaga, psikis dan fisik. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun