Mohon tunggu...
Sri Rumani
Sri Rumani Mohon Tunggu... Pustakawan - Pustakawan

Rakyat kecil, bukan siapa-siapa dan tidak memiliki apa-apa kecuali Alloh SWT yang sedang berjalan dalam "kesenyapan" untuk mendapatkan pengakuan "profesinya". Sayang ketika mendekati tujuan dihadang dan diusir secara terorganisir, terstruktur, dan konstitusional... Email:srirumani@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

(Tidak) Mengabaikan Esensi di Tengah Gemerlap Resepsi

26 Juli 2018   11:34 Diperbarui: 26 Juli 2018   21:32 1687
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
www.shutterstock.com

Pernikahan sebagai acara yang sakral, suci, dan harapannya hanya dialami satu kali seumur hidup, menjadi momen yang penting bagi perjalanan hidup setiap orang. 

Pernikahan itu bukan sekedar bertautnya dua (2) insan antara wanita dan pria yang dilandasi niat tulus, kasih sayang, dan menjalankan perintah agama. Namun pernikahan adalah bertemunya dua jiwa, dua keluarga besar dengan karakter, budaya, latar belakang, pendidikan, suku, ras, bahasa, bahkan bangsa yang berbeda.

Tujuan utama pernikahan adalah untuk membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Untuk mewujudkan tujuan itu ada batasan usia menikah, minimum 16 tahun bagi wanita dan 19 tahun untuk pria (pasal 6 ayat 1 dan 2 UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan). Ijin kedua orang tua dari kedua belah pihak wajib diberikan bila usianya belum mencapai 21 tahun. 

BKKBN mensyaratkan pria berumur 25 tahun, dan wanita berumur 20 tahun. Walaupun sudah jelas ketentuan usia menikah, masih sering terjadi pelanggaran pernikahan usia dini, karena adat atau ada MBA (Married by Accident), sehingga "terpaksa" menikah untuk mendapatkan status hukum bagi anaknya.

Syarat usia ini dimaksudkan agar dalam membina rumah tangga kedua calon mempelai sudah siap secara lahir, batin, jiwa, raga, fisik, psikis, biologis, ekonomis, dan sosiologis.

Oleh karena itu pasangan calon suami istri melakukan pendaftaran di KUA domisili calon istri, untuk pelaksanaan akad nikah dengan ijab dan kabul. 

Inti pernikahan itu wali nikah (bapak atau saudara laki-laki dari pihak wanita) menikahkan anaknya dengan mempelai pria disertai mas kawin/mahar yang telah disepakati wanita dan langsung dijawab oleh pihak pengantin pria tanpa ada salah ucap, didengarkan oleh para saksi kedua belah pihak.

Prosesi akad nikah biasanya tidak lebih dari satu (1) jam, di sinilah sebenarnya acara yang paling pokok/penting, diakhiri syukuran mengundang kerabat, tetangga, kenalan dengan hidangan untuk santap bersama. 

Sebenarnya simpel, sederhana, cepat, murah (biaya pendaftaran di KUA Rp 600.000,-), tidak boleh ada uang transpot kalau mengundang petugas, karena termasuk gratifikasi.

Namun dalam pernikahan sering ada prosesi adat/budaya dari masing-masing daerah yang berbeda, semakin komplit prosesinya semakin mahal biayanya. Prosesi adat ini dengan mengatas namakan "pelestarian budaya" dan nilai-nilai luhur, karena syarat dengan makna dan simbul. Akibatnya   untuk memenuhi semua prosesi tersebut membutuhkan biaya puluhan, ratusan, dan milyard bagi yang mampu.    

Padahal esensi acara pernikahan adalah akad nikah, bahwa pasangan pengantin yang sering disebut raja dan ratu sehari itu sudah sah sebagai suami istri secara hukum dan agama dengan kewajiban dan hak yang melekat.

Artinya, suami mempunyai hak dan kewajiban sesuai dengan pasal 31 - 34 UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Suami-istri wajib menegakkan rumah tangga, dengan hak dan kedudukan yang seimbang dalam melakukan perbuatan hukum. Suami adalah kepala rumah tangga dan istri ibu rumah tangga, yang mempunyai tempat kediaman tetap berdasarkan kesepakatan bersama. Suami-istri wajib saling mencintai, menghormati, setia, dan mendukung, memberi nafkah lahir batin.

Untuk mewujudkan acara pernikahan ini tidak lepas dari biaya, yang besarnya sangat tergantung dari konsep, tema, nuansa, tempat akad nikah, resepsi, jumlah panitia, asesoris (seragam, souvenir, video, foto, dekorasi, soundsystem, meja, kursi, rias pengantin dan keluarga) selera, jumlah undangan, menu yang dihidangkan. Semakin lengkap, mewah, undangan ribuan dengan melibatkan Event Organiner(EO) biaya semakin besar, karena semua itu ada nilai rupiah. 

Pernikahan ini melibatkan "selera" orang tua dan anak, setelah sepakat dibuat Rencana Anggaran Biaya Pernikahan (RABP) kalkulasi per item kebutuhan. Padahal anak lebih realistis, acara sederhana yang utama akah nikah supaya biaya bisa dialihkan untuk modal berumah tangga/atau uang muka kredit rumah. Namun orang tua biasa "memaksakan" dengan acara resepsi meriah, dengan undangan ratusan sampai ribuan.

Satu hal yang harus diperhatikan "kemampuan" finansial (modal finansial) harus sudah pasti dari mana sumbernya, muncul masalah besar bila sumbernya dari hutang.

Maka penting dan perlu dihindari untuk sekedar mencari "WAH", "prestige" semata, berkorban menguras tabungan, menjual aset (tanah, rumah, mobil), apalagi dengan utang di bank, atau rentenir. Harapannya, hasil "sumbangan" dapat menutup biaya pengeluaran.

Kalau judulkan syukuran, resepsi, apapun namanya jangan terlalu berharap biaya itu akan kembali, karena mengadakan acara pernikahan itu bukan "proyek" yang memberi keuntungan. Mendapatkan sumbangan dari tamu sebesar 50 persen itu sudah baik, apalagi dapat menutup semua biaya yang sudah dikeluarkan. 

Tidak jarang orang yang mempunyai hajadan pernikahan anaknya ternyata terperosok masuk "lubang" pinjaman uang yang terlalu dalam. Hal ini bisa jadi karena modalnya tidak kembali, padahal biaya itu sumbernya dari pinjaman saudara, keluarga besar, bank atau lintah darat.

Menghadapi kondisi ini dapat stres yang berujung stroke, sehingga tidak dapat menikmati kehadiran cucu-cucu yang menggemaskan dan memberi hiburan tersendiri.

Biaya pernikahan ini semakin membengkak bila calon pengantin wanita atau pria itu berada di lain tempat, lintas kota/kabupaten, propinsi, pulau, apalagi benua. Tentu harus ada biaya ekstra untuk rombongan (transportasi, akomodasi) untuk membawa keluarga inti dan keluarga besar dari kedua belah pihak.

Semuanya harus dipersiapkan dengan terencana, jadwal, hari, tanggal, jam, dengan cermat dan mendetail karena mengumpulkan banyak orang itu lebih merepotkan, apalagi masih ada "sesepuh/orang yang sudah tua (kakek,nenek)" yang kelincahan berjalan dan bergerak berbeda dengan orang muda.

Diakui tamu yang hadir saat resepsi pernikahan itu dapat menjadi representasi yang mempunyai hajad dan  menunjukkan luasnya jejaring pertemanan baik orang tua maupun pengantinnnya.

Namun disisi lain, tamu undangan ini berkaitan dengan jumlah hidangan yang harus disediakan. Menghitungnya melihat profil tamu undangan, bila yang diundang orang  kota satu undangan yang hadir dua orang. Berbeda bila tamu undangan orang desa satu undangan bisa datang 3 atau 4 orang.

Belum lagi ada tamu yang "menyusup", tidak diundang, bukan keluarga, bukan kenalan, jadi membawa "amplop kosong", berbaju batik, menikmatai hidangan.

Perlu diingat bahwa jumlah undangan tidak berbanding lurus dengan nilai sumbangan yang didapat. Jadi jangan berharap terlalu banyak supaya tidak kecewa.

Kalau niatnya syukuran, resepsi pernikahan anaknya semua harus diikhlaskan lahir dan batin, bahwa pernikahan itu bukan ajang mencari keuntungan seperti jual beli, atau ajang membuka "tabungan" karena "merasa" telah menyumbang di berbagai tempat dalam kurun waktu lama.

Yogyakarta, 26 Juli 2018 Pukul 11.14

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun