Padahal esensi acara pernikahan adalah akad nikah, bahwa pasangan pengantin yang sering disebut raja dan ratu sehari itu sudah sah sebagai suami istri secara hukum dan agama dengan kewajiban dan hak yang melekat.
Artinya, suami mempunyai hak dan kewajiban sesuai dengan pasal 31 - 34 UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Suami-istri wajib menegakkan rumah tangga, dengan hak dan kedudukan yang seimbang dalam melakukan perbuatan hukum. Suami adalah kepala rumah tangga dan istri ibu rumah tangga, yang mempunyai tempat kediaman tetap berdasarkan kesepakatan bersama. Suami-istri wajib saling mencintai, menghormati, setia, dan mendukung, memberi nafkah lahir batin.
Untuk mewujudkan acara pernikahan ini tidak lepas dari biaya, yang besarnya sangat tergantung dari konsep, tema, nuansa, tempat akad nikah, resepsi, jumlah panitia, asesoris (seragam, souvenir, video, foto, dekorasi, soundsystem, meja, kursi, rias pengantin dan keluarga) selera, jumlah undangan, menu yang dihidangkan. Semakin lengkap, mewah, undangan ribuan dengan melibatkan Event Organiner(EO) biaya semakin besar, karena semua itu ada nilai rupiah.Â
Pernikahan ini melibatkan "selera" orang tua dan anak, setelah sepakat dibuat Rencana Anggaran Biaya Pernikahan (RABP) kalkulasi per item kebutuhan. Padahal anak lebih realistis, acara sederhana yang utama akah nikah supaya biaya bisa dialihkan untuk modal berumah tangga/atau uang muka kredit rumah. Namun orang tua biasa "memaksakan" dengan acara resepsi meriah, dengan undangan ratusan sampai ribuan.
Satu hal yang harus diperhatikan "kemampuan" finansial (modal finansial) harus sudah pasti dari mana sumbernya, muncul masalah besar bila sumbernya dari hutang.
Maka penting dan perlu dihindari untuk sekedar mencari "WAH", "prestige" semata, berkorban menguras tabungan, menjual aset (tanah, rumah, mobil), apalagi dengan utang di bank, atau rentenir. Harapannya, hasil "sumbangan" dapat menutup biaya pengeluaran.
Kalau judulkan syukuran, resepsi, apapun namanya jangan terlalu berharap biaya itu akan kembali, karena mengadakan acara pernikahan itu bukan "proyek" yang memberi keuntungan. Mendapatkan sumbangan dari tamu sebesar 50 persen itu sudah baik, apalagi dapat menutup semua biaya yang sudah dikeluarkan.Â
Tidak jarang orang yang mempunyai hajadan pernikahan anaknya ternyata terperosok masuk "lubang" pinjaman uang yang terlalu dalam. Hal ini bisa jadi karena modalnya tidak kembali, padahal biaya itu sumbernya dari pinjaman saudara, keluarga besar, bank atau lintah darat.
Menghadapi kondisi ini dapat stres yang berujung stroke, sehingga tidak dapat menikmati kehadiran cucu-cucu yang menggemaskan dan memberi hiburan tersendiri.
Biaya pernikahan ini semakin membengkak bila calon pengantin wanita atau pria itu berada di lain tempat, lintas kota/kabupaten, propinsi, pulau, apalagi benua. Tentu harus ada biaya ekstra untuk rombongan (transportasi, akomodasi) untuk membawa keluarga inti dan keluarga besar dari kedua belah pihak.