Maksud Mendikbud memberlakukan PPDB sistem zonasi agar ada percepatan pemerataan kualitas pendidikan patut mendapat dukungan oleh semua pihak. Wajar bila setiap terbit peraturan baru selalui ada yang diuntungkan dan dirugikan, namun semuanya untuk kepentingan "mencerdaskan kehidupan bangsa".Â
Sekolah adalah salah satu tri pusat pendidikan sebagai wahana ideal untuk membekali anak-anak mendapatkan pengetahuan, wawasan, dan kecerdasan intelektual. Sementara keluarga, dan lingkungan masyarakat memberikan pendidikan untuk kecerdasan emosional, dan spiritual.
Namun tri pusat pendidikan dalam memberikan kecerdasan kepada generasi milenial sering kurang koordinasi dan sinkronisasi. Akibatnya anak-anak bingung mana dan siapa yang harus menjadi panutannya.
Anak-anak selalu melihat apa yang dikatakan dan yang dilakukan orang tua disekitarnya selalu berbeda. Anak-anak dibatasi main gadget, tetapi orang tuanya asyik dengan gadget setiap detik, alasannya untuk urusan pekerjaan, bisnis, relasi, hobi yang harus diselesaikan. Orang tua bilang merokok itu merusak organ tubuh, tidak baik untuk kesehatan, namun mempertontonkan merokok depan anak-anaknya. Â
Demikian juga ketika Mendikbud membuat kebijakan sistem zonasi dalam PPDB, supaya ada pemerataan kualitas pendidikan, namun realitanya fasilitas sekolah dan kompetensi guru belum sama dan merata. Akibatnya ada sekolah yang kualitas output lulusannya dapat dibanggakan dan diandalkan, namun masih ada yang berjuang untuk "menyadarkan" peserta didik dan orang tua tentang pentingnya pendidikan.Â
Kalau ditelusuri kualitas pendidikan berasal dari hasil sinergi guru yang kompeten, peserta didik, Kepala Sekolah, tendik, Komite Sekolah untuk bersama-sama terus berusaha meningkatkan kualitas pendidikan anak-anaknya. Menciptakan suasana yang nyaman, kondusif, dengan fasilitas sekolah lengkap, memenuhi standar nasional, sehingga budaya dan semangat belajar dapat tumbuh subur. Â
Walaupun diakui Komite Sekolah baik perorangan maupun kolektif dilarang menarik pungutan dari orang tua murid, namun  diizinkan bila wali murid itu menyumbang Komite Sekolah secara sukarela.Â
Permendikbud Nomor 75 Tahun 2015 tentang Komite Sekolah, pihak sekolah sama sekali tidak boleh melakukan pungutan pada murid dan wali murid (pasal 10, 11 dan 12).Â
Pasal 11 dan 12 menekankan penggalangan dana dan sumber daya pendidikan lain tidak diperbolehkan dari perusahaan rokok, alkohol dan partai politik. Artinya sekolah harus bersih dari sponsor yang berasal dari perusahaan rokok, alkohol dan partai politik. Namun kalau ada alumni yang sudah sukses, secara pribadi atau kolektif menyumbang untuk fasilitas sekolah diperbolehkan, asal semuanya dapat dipertanggungjawabkan, transparan, dan akuntabel.
Semua itu perlu perjuangaan keras dan cerdas untuk mendapat label berkualitas dari BAN Sekolah, dan label "favorit" oleh masyarakat. Untuk mewujudkan itu perlu ada guru yang inovatif, kreatif, berdaya juang tinggi, kompeten dibidangnya. Selain itu kondisi di sekolah tersebut sudah ada budaya belajar yang tinggi, ada kesadaran tinggi baik dari peserta didik maupun dari orang tua tentang pentingnya pendidikan.Â
Persaingan untuk berpestasi secara akademik sangat ketat. Lingkungan sekolah kondusif karena semua fasilitas mendukung untuk perkembangan motorik, kognitif, dan psikomotorik. Â
Ketika PPDB dengan sistem zonasi, sekolah negeri "favorit" bisa jadi mendapat peserta didik dengan nilai pas-pasan, karena 90 persen harus berasal dari zona satu (zonasi) yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Daerah bersama dengan Kepala Sekolah.Â
Kalau dicermati, ada potensi dapat menimbulkan masalah ketika anak yang nilainya pas-pasan itu "dipaksa" masuk dengan lingkungan yang jauh berbeda dari sekolah asalnya (kedisiplinan, budaya belajar, kesadaran untuk sekolah, dan lain-lain).Â
Selain itu guru mendapat tantangan yang jauh lebih kompleks karena input peserta didik dengan prestasi akademik pas-pasan, bahkan (mungkin) kondisi ekonomi orang tua juga kurang mampu secara finansial.Â
Untuk menumbuhkan kesadaran belajar, dan masuk sekolah dengan disiplin pun perlu daya juang dari para guru agar peserta didik semangat semangat sekolah dan belajar. Bahwa sekolah bukan "sekedar" mendapat selembar ijazah, tetapi ada proses yang harus dijalani dan tata tertib yang ditaati. Sementara disisi lain "label sekolah favorit" tetap harus dipertahankan, sungguh dilematis.
Sementara di sekolah "pinggiran", karena sistem zonasi mendapat input anak-anak yang mempunyai prestasi akademik bagus, namun budaya belajar dan fasilitas sekolah jauh berbeda dengan sekolah yang sudah dianggap favorit.Â
Kondisi ini dapat berpotensi anak yang sudah berprestasi semangatnya menjadi "kendor" karena lingkungan sekolah yang kurang mendukung baik proses belajar mengajarnya, maupun fasilitas sekolah yang dimiliki.Â
Kalau sudah begini, tetap kita tunggu 3 (tiga) tahun lagi hasilnya tentang pemerataan kualitas pendidikan, semoga hasilnya seperti harapan pak Mendikbud.
 Yogyakarta, 8 Juli 2018 Pukul 09.29 Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H