Lebaran sebagai hari kemenangan setelah sebulan puasa Ramadan, menahan hawa nafsu lahir batin, ujian, godaan duniawi. Pertentangan batin dengan sejuta perasaan untuk menata hati dalam menentukan putusan yang paling besar. Bagi orang lain “pensiun” adalah peristiwa biasa, alami, wajar, yang patut disyukuri, dinikmati, terbebas dari rutinitas, friksi-friksi yang menguras energi dan perasaan.
Jangan salah, ternyata orang berprestasi walaupun membanggakan institusi, menjadi “duri” dan “musuh” bagi para pecundang yang tidak bisa menyamainya. Jalan pintasnya dengan menghancurkan dan membinasakan secara halus atau kasar, rahasia atau terang-terangan.
Ketika ada kesempatan selubang jarum pun para pecundang itu sudah kasak-kusuk untuk “menghilangkan” musuh bebuyutannya. Aksinya sering gagal, karena musuhnya justru dapat menunjukkan prestasi, kejujuran, ketulusannya untuk mengabdi, dan mendapat dukungan pimpinan. Kondisi ini semakin membuat ambisius para pecundang segera menghilangkan musuhnya.
Puncaknya, ketika orang kecil yang sudah memenuhi syarat, ketentuan, dengan penuh semangat untuk mencapai jabatan tertinggi, pecundangpun bereaksi dengan jurus maut “memperdaya pimpinan” yang mudah percaya. Kelicikan dan kecerdikan pecundang berhasil menggagalkan usaha dan perjuangan orang kecil. Walaupun orang kecil juga mempunyai jejaring secara lintas institusi untuk mengawal berkas-berkasnya, sehingga dapat mendeteksi dimana berkas itu berhenti, dan siapa aktornya.
Intinya pecundang berupaya menggagalkan dan kalau terbukti ketahuan mana ada pencuri yang mengakui ?. Justru pecundang semakin membabi buta, dengan memutar balikkan fakta, data dan informasi yang tidak benar. Orang kecil disalahkan karena terlambat menyerahkan berkas dan berani melawan penguasa.
Rakyat kecil yang diperlakukan tidak adil berani melawan tirani dengan melaporkan ke lembaga yang independen untuk menengahi. Awalnya lembaga independen menyalahkan institusi, dan ada 2 (dua) lembaga non departemen yang membela rakyat kecil, serta kepala badan langsung meloby dengan tangan kanan orang nomor satu di negeri ini.
Hasilnya yang semula ada sinar terang, justru semakin redup dan mati, tidak ada harapan lagi. Penentu terakhir tidak bersedia memberi rekomendasi, alasannya kalau membuat diskresi, nanti akan terkena maladministrasi. Padahal orang kecil mengabdi di institusi tersebut, dan pejabat itu pernah menjadi pimpinannya, jadi saling sangat mengenal baik.
Justru karena kenal inilah yang menjadi kunci kegagalannya, padahal bawahan siap melaksankan asal ada disposisi. Disinilah liciknya pecundang membentuk kroni kejahatan, walau tidak kenal penentu kebijakan melalui jalan tikus tetap bisa menghadang orang kecil untuk melaju. Pecundang semakin meradang karena orang kecil mempunyai jaringan komunikasi lintas institusi.
Melihat orang kecil kelimpungan dan gagal meraih jabatan tertinggi, pecundang dan kroninya bersorak bahagia, tertawa, gembira ria telah berhasil membinasakan dan menghilangkan musuh bebuyutan hengkang dari institusi tempat mengabdi. Ketahuilah sebenarnya ini kemenangan semu, duniawi, yang pada saatnya ada pengadilan dengan hakim yang seadil-adilnya, tidak bisa disuap, tidak ada intervensi dari siapapun dan manapun yaitu pengadilan dengan hakim Alloh SWT yang Maha Adil dan Bijaksana.
Siapapun yang telah berbuat dzalim terhadap orang kecil telah dilaporkan/diadukan kepadaNya, dalam setiap bangun di sepertiga malam. Inilah tempat bersandar, mengingat lapor/mengadu kepada manusia hanya PHP (Pemberi Harapan Palsu). Intinya semua mencari aman, takut kehilangan penghasilan bila membela orang kecil, apalagi ini berhadapan dengan “bos besar”.
Oleh karenanya pengaduan, laporan orang kecil dengan sekuat tenaga diredam, untuk menutupi ketidak profesionalnya mengurusi nasib orang yang menjadi amanahnya. Takut posisinya digeser, dengan berbagai cara dikeluarkan peraturan agar kelihatan ada dasar hukum dan secara legal formal sah, dan konstitusional.