Walau sebenarnya kalau dianalisa semua itu sangat lucu, dipaksakan, tidak masuk akal, yang justru semakin kelihatan tidak piawinya menghadapi orang kecil yang mencari keadilan. Sangat naif sekali, untuk menghancurkan dan membinasakan orang kecil yang tidak punya siapa-siapa kecuali Alloh, harus berjama’ah. Padahal di “pites”/dibunuh pun dengan mudah dapat dilakukan.
Diakui, orang kecil sempat ada di titik nol, titik paling rendah, tidak ada gairah, semangat, dan sangat traumatik, terluka hatinya sangat dalam, namun karena Alloh lah semangat itu muncul lagi semakin menggebu. Juga tidak lepas dari peran keluarga (suami, anak-anak, mantu-mantu, dan cucu-cucu), orang-orang yang masih peduli memberi semangat, untuk tetap melanjutkan perjuangan pengakuan profesinya.
Walaupun oleh teman-teman seprofesi ditertawakan, didiamkan, dicuekin, diacuhkan dan dituduh “terlalu berani” melawan penguasa. Ini membuktikan tidak ada rasa senasib sepenanggungan/solidaritas sesama profesi seperti dokter yang sangat solid. Dalam kondisi ini semakin jelas dapat diketahui mana teman tetapi musuh, teman biasa, dan mana teman tetapi sahabat sejati (orang yang selalu ada dalam kondisi suka dan duka).
Pecundang tidak hanya menggagalkan orang kecil meraih jabatan tertinggi, tetapi semua akses di stop, anggota WA pun di putus sepihak padahal dulu memasukkan juga tidak pernah konfirmasi. Semua pintu rejeki ditutup rapat-rapat, gaji, tunjangan, di stop sejak tanggal 1 Mei 2017, dan sudah di “rumahkan” tanpa selembar suratpun sejak tanggal 3 Juli 2017.
Maksudnya supaya tidak melakukan upaya hukum yang bagi pecundang sangat merepotkan, karena harus membongkar berkas-berkas yang sudah ditutup, sehingga ketahuan niat jahatnya. Intinya pecundang iri hati orang kecil kalau berhasil mencapai jabatan puncak, pensiun sampai 65 tahun. Buktinya pecundang kepingin menyamainya, tetapi terbentur aturan yang melarangnya karena tidak memenuhi syarat.
Kasak-kasuk tetap dilakukan walaupun pecundang harus pensiun tetapi mengajukan perpanjangan. Siapa yang sebenarnya tidak legowo pensiun ?. Siapa yang mengalami “post power syndrom”. Pecundang atau orang kecil ?
Sementara orang kecil di puasa Ramadan ini telah memutuskan “pensiun”, setelah satu (1) tahun berjuang menata hati. Ini sebagai kemenangan hakiki karena telah membuat sadar penguasa tertinggi di institusinya yang masih memiliki hati nurani dengan meminta maaf dan terima kasih perjuangannya telah membongkar tirani dan menjadi pembelajaran yang sangat berharga di institusi ini. Berjanji akan memperbaiki sistem agar lebih transparan, adil, tidak membedakan dan “like and dislike”.
Mendoakan orang kecil dengan tulus, santun:”semoga tetap semangat, terima kasih pengabdiannya dengan prestasi yang luar biasa, semoga bersama keluarga selalu sehat dan sejahtera”. Orang kecil hanya bisa terharu mendapat apresiasi pucuk pimpinan di instansinya, dengan mantap dan lantang tetap akan menulis terus diblog kompasiana sebagai tempat berlabuh.
Inilah hikmah dari semua kejadian yang dialami, dirasakan, orang kecil, kenapa tidak “legowo” pensiun ?. Kenapa mesti “post power syndrome” ?. Bukan ini masalahnya, tetapi karena profesinya telah dilecehkan oleh para pecundang yang mempunyai pengakit hati yaitu iri hati dan dengki.
Yogyakarta, 8 Juni 2018 Pukul 15.16
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H