Saat ini posisinya sudah menjadi orang tua dari anak-anak, menantu, cucu, adik-adik ipar, keponakan. Tradisi “sungkem” dan mohon doa restu dengan datang ke rumah-rumah mulai tergerus oleh perubahan zaman. Anak-anak sudah mulai dewasa dan mempunyai keluarga sendiri, sehingga waktunya harus dibagi dengan keluarga dari isti/suami.
Akibatnya yang dulu datang bersama rombonga besar, mengalami penurunan karena sedang ada acara di rumah mertua di luar kota. Kondisi ini perlu “permakluman” yang tinggi karena mempunyai dua pasang orang tua. Tidak boleh ada “pemaksaan” kehendak yang dapat berujung pada friksi-friksi keluarga kecilnya.
Anak-anak zaman “now” dengan seabrek kesibukan dan mobilitas yang tinggi acara silaturahmi untuk sungkem, mohon doa restu, pinginya yang sederhana, fleksibel, cepat, tidak bertele-tele, dan egaliter, tidak menjurus ke feodal.
Disisi lain generasi “old” , masih menekankan supaya “obor” persaudaraan tidak mati, harus tetap menyala, perlu ada silaturahmi dengan sungkem, mohon maaf dan restu. Sesama keluarga saling ngobrol dan perkenalan dengan keluarga masing-masing, sagar semakin erat, dekat, dan akrab.
Perbeaan persepsi tentang sungkem, mohon maaf dan doa restu tetap berjalan, maka diambil keputusan yang “win-win solution”, dengan ertemuan trah saat hari Raya Idul Fitri.
Alasan generasi “old” mempertahankan pertemuan, bila generasi “old” sudah habis karena usia, khawatir anak keturunannya tidak saling mengenal kalau masih saudaranya, karena kakek nenek yang menurunkan segaris vertikal generasi “now”, sehingga dibentuk trah.
Makna trah adalah sekelompok orang yang mempunyai hubungan kekerabatan (silsilah) berdasarkan hubungan darah, yang menjai referensi untuk menentukan penyebutan “adik, kakak, pakde, bude, pak lik, bulik, yang secara “awu”(bahasa Jawa), “abu”, menunjukkan lebih tua walau secara usia masih anak-anak.
Setiap lebaran Idul Fitri menjadi momen untuk pertemuan trah yang berlangsung setahun sekali. Berdasarkan hasil rapat pengurus trah yang sudah dibentuk tahun 1990 itu ditentukan bahwa trah dilaksanakan pada hari ke-dua lebaran. Kalau lebaran tidak sama berarti hari ke-3, setelah lebaran.
Acara ini juga menjadi representasi keberhasilan setiap keluarga dengan indikator pendidikan, pemahaman agama, pandangan hidup, pola pikir da pola hidup. Secara kasat mata dapat dilihat kendaraan yang dimiliki, baju, sepatu, tas, dan acesoris yang dipakai.
Walau ada perbedaan status sosial, pendidikan, agama, pandangan politk, suku, bahasa, asal, semuanya berbaur, bersatu dalam satu bani (keturunan) yang sama.
Keluarga yang satu tidak “merasa” lebih hebat, lebih modern, lebih intelek, lebih agamis, dari keluarga yang lain. Sungguh pertemuan yang bernuana kebersamaan, persatuan dan kesatuan dalam bingkai asal usul yang menurunkan. Inilah bentuk toleransi sejati dalam keluarga, saling menghargai dan menghormati setiap pilihan