Mohon tunggu...
Sri Rumani
Sri Rumani Mohon Tunggu... Pustakawan - Pustakawan

Rakyat kecil, bukan siapa-siapa dan tidak memiliki apa-apa kecuali Alloh SWT yang sedang berjalan dalam "kesenyapan" untuk mendapatkan pengakuan "profesinya". Sayang ketika mendekati tujuan dihadang dan diusir secara terorganisir, terstruktur, dan konstitusional... Email:srirumani@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pernikahan Anak, Pihak Perempuan Rentan Menderita

15 Mei 2018   10:59 Diperbarui: 18 Mei 2018   12:47 1253
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setiap orang mempunyai kebutuhan dasar, sehingga selalu termotivasi untuk memenuhi demi kelangsungan hidup dan keturunannya. Menurut Abraham Maslow dalam dalam Frank G.Goble (1992:71) kebutuhan yang paling dasar (fisiologis), paling kuat dan paling jelas adalah kebutuhan untuk mempertahankan hidupnya secara fisik, yaitu kebutuhannya akan makanan, minuman, tempat berteduh, seks, tidur dan oksigen. 

Teori Abraham Maslow yang sangat terkenal yaitu hierarchy of needs (hirarki kebutuhan), yaitu tingkatan kebutuhan manusia yang paling rendah (bersifat dasar/fisiologis) sampai yang paling tinggi (aktualisasi diri). Antara kebutuhan dasar dan aktualisasi diri ada kebutuhan rasa aman dan tenteram, kebutuhan untuk dicintai, disayangi dan kebutuhan untuk dihargai.

Kebutuhan dasar manusia mengalami perubahan karena perkembangan peradaban. Awalnya kebutuhan dasar itu hanya pangan, papan, dan sandang, sudah bertambah kesehatan dan pendidikan. Selain itu menurut penulis, masih ada kebutuhan yang hakiki yaitu kebutuhan spiritual hubungan manusia dengan Sang Pencipta secara vertikal, sebagai hak azasi yang dimiliki oleh setiap orang. 

Di negara Indonesia yang demokratis berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, ada jaminan setiap orang menjalankan agama dan kepercayaan dengan rasa aman, nyaman, damai dalam koridor persatuan dan kesatuan. Bila ada yang mengganggu orang menjalankan ibadah, dengan alasan apapun itu sudah menyalahi fitrah agama yang penuh dengan rasa kasih sayang dan kedamaian.

Pernikahan sesuai dengan teori Maslow, sebagai upaya untuk memenuhi kebutuhan mendasar manusia berupa seks, yang disahkan dalam perkawinan. Pasal 1 UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dikatakan bahwa:”Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri denga tujuan mebentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”. Artinya pernikahan itu bukan sekedar untuk mencari status, namun mempunyai tujuan yang suci mensahkan hubungan lahir batin (termasuk seks), untuk membentuk keluarga bahagia, kekal dan meneruskan keturunan dengan landasan agama yang dianutnya.

Istilah pernikahan berasal dari kata “nikah” dapat awalan per dan akhiran an, menurut KBBI berarti ikatan (akad) perkawinan yang dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum dan ajaran agama. Sedang perkawinan dari kata dasar “kawin” dengan awalan per dan akhiran an, berarti 1. membentuk keluarga dengan lawan jenis, bersuami atau beristri, menikah,  2. Melakukan hubungan kelamin. 

Dalam tulisan ini penulis menggunakan istilah pernikahan dengan pertimbangan “rasa bahasa” lebih halus dibanding perkawinan (mempunyai tendensi lebih menjurus ke melakukan hubungan kelamin), walaupun “kawin” dapat berarti juga membentuk keluarga dengan lawan jenis, bersuami atau beristri, menikah.

Syarat pernikahan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai, dan untuk melangsungkan pernikanan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua (pasal 6 ayat 1 dan 2). Pernikahan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun (pasal 7) UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. BKKBN mensyaratkan pria berumur 25 tahun, dan wanita berumur 20 tahun.

Hal ini mengandung makna bahwa pernikahan itu tidak boleh ada unsur paksaan, namun berdasarkan persetujuan kedua belah pihak (calon mempelai pria dan wanita), dan harus ada izin kedua orang tua bila belum mencapai usia 21 tahun. Izin ini dimaksudkan karena belum dianggap dewasa, walau batasan dewasa itu berbeda-beda. 

Untuk dewasa menurut Depkes RI (2009) 26 tahun, KUH Perdata pasal 330, dewasa usia 21 tahun (atua sudah pernah menikah), KUH Pidana dewasa itu bila sudah 16 tahun, UU Ketenagakerjaan, dewasa usianya 18 tahun, UU Lembaga Pemasyarakatan dan Sistem Peradilan Anak, UU HAM, UU Sistem Perlindungan Anak, UU tentang Pornografi, UU Kewarganegaraan berusia 18 tahun. UU Pemilu, UU Lalu lintas, batas dewasa adalah 17 tahun.

Disebut dewasa menurut KBBI, artinya sampai umur, akil baliq (bukan kanak-kanak atau remaja lagi), telah mencapai kematangan kelamin, matang (pikiran, pandangan, dan sebagianya). Intinya dewasa itu secara fisik, psikis, biologis, hukum, politik, sosial, ekonomi, emosi, agama, intelektual, sikap, karakter, pikiran, pandangan. 

Intinya sudah memiliki kematangan dan tanggung jawab yang mencerminkan kedewasaan. Semua itu berjalan seiring, sejalan, seimbang, sejajar, sehingga kedewasaan itu dapat dilihat dan dirasakan dari sikap dan perilakunya.

Bila hal ini diterapkan dalam pernikahan, untuk calon mempelai pria dan wanita maka disebut sudah matang secara fisik, psikis, ekonomi, dan biologis, sehingga diharapkan keluarga yang dibina menjadi bahagia lahir batin, dan kekal, dengan keturunan yang baik dan sehat, bermanfaat bagi lingkungan dan negara. 

Rumah tangga yang dlandasi fondasi kuat, dalam menjalani biduk rumah tangga tidak mudah “limbung” dan pecah berantakan oleh hamtaman gelombang kehidupan yang dahsyat sekalipun. Pegangan kasih sayang, toleransi, tanggung jawab, kepercayaan, prinsip dan iman yang kokoh, semakin mengeratkan ikatan pernikahan.

Namun sebaliknya pernikahan yang dibangun dengan hanya bermodal “cinta”, apalagi cinta yang buta, karena mempelai masih anak-anak, belum dewasa, sangat riskan dan rentan dengan penderitaan khususnya akan dirasakan oleh pihak perempuan. Mengapa ?. 

Perempuan yang secara fisik, biologis, psikis yang “terpaksa” harus hamil, melahirkan, menyusui, secara emosi rentan dan labil yang belum siap menjadi ibu dari anak-anaknya. Akibatnya generasi mendatang juga rentan kurang gizi, “stunting” , penyakit yang berimbas  pada kurang daya juang dan daya saing tinggi.

Kondisi ini diperparah dengan belum matang secara ekonomi, akibatnya menjadi beban orang tua dan mentuanya. Artinya anggapan sebagian orang tua selama ini, semakin cepat menikahkan anak perempuan dapat meringankan bebannya , terbukti tidak benar. Oleh karena itu stop pernikahan dini apapun alasannya, biarkan anak-anak khususnya perempuan menggapai cita-citanya. 

Untuk menghindari pernikahan dini dengan alasan “terpaksa” karena MBA ( Married By Accident), orang tua harus menanamkan nilai-nilai agama dengan baik dan benar (bukan tersesat), etika, budi pekerti, dan pendidikan seks sejak dini (bukan hal tabu, asal dengan bahasa anak). Semua ini dimaksudkan agar anak-anaknya dapat menjaga “kehormatan” diri yang harus dipertahankan sampai siap lahir batin untuk menikah.

Yogyakarta, 15 Mei 2018 pukul 10.44

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun