Intinya sudah memiliki kematangan dan tanggung jawab yang mencerminkan kedewasaan. Semua itu berjalan seiring, sejalan, seimbang, sejajar, sehingga kedewasaan itu dapat dilihat dan dirasakan dari sikap dan perilakunya.
Bila hal ini diterapkan dalam pernikahan, untuk calon mempelai pria dan wanita maka disebut sudah matang secara fisik, psikis, ekonomi, dan biologis, sehingga diharapkan keluarga yang dibina menjadi bahagia lahir batin, dan kekal, dengan keturunan yang baik dan sehat, bermanfaat bagi lingkungan dan negara.
Rumah tangga yang dlandasi fondasi kuat, dalam menjalani biduk rumah tangga tidak mudah “limbung” dan pecah berantakan oleh hamtaman gelombang kehidupan yang dahsyat sekalipun. Pegangan kasih sayang, toleransi, tanggung jawab, kepercayaan, prinsip dan iman yang kokoh, semakin mengeratkan ikatan pernikahan.
Namun sebaliknya pernikahan yang dibangun dengan hanya bermodal “cinta”, apalagi cinta yang buta, karena mempelai masih anak-anak, belum dewasa, sangat riskan dan rentan dengan penderitaan khususnya akan dirasakan oleh pihak perempuan. Mengapa ?.
Perempuan yang secara fisik, biologis, psikis yang “terpaksa” harus hamil, melahirkan, menyusui, secara emosi rentan dan labil yang belum siap menjadi ibu dari anak-anaknya. Akibatnya generasi mendatang juga rentan kurang gizi, “stunting” , penyakit yang berimbas pada kurang daya juang dan daya saing tinggi.
Kondisi ini diperparah dengan belum matang secara ekonomi, akibatnya menjadi beban orang tua dan mentuanya. Artinya anggapan sebagian orang tua selama ini, semakin cepat menikahkan anak perempuan dapat meringankan bebannya , terbukti tidak benar. Oleh karena itu stop pernikahan dini apapun alasannya, biarkan anak-anak khususnya perempuan menggapai cita-citanya.
Untuk menghindari pernikahan dini dengan alasan “terpaksa” karena MBA ( Married By Accident), orang tua harus menanamkan nilai-nilai agama dengan baik dan benar (bukan tersesat), etika, budi pekerti, dan pendidikan seks sejak dini (bukan hal tabu, asal dengan bahasa anak). Semua ini dimaksudkan agar anak-anaknya dapat menjaga “kehormatan” diri yang harus dipertahankan sampai siap lahir batin untuk menikah.
Yogyakarta, 15 Mei 2018 pukul 10.44
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H