Di sepanjang jalan mulai dari Tugu Yogya, sampai titik nol, sampai Alun-alun Utara dan Kraton Yogyakarta menjadi destinasi wisata yang "fenomenal", dengan spot-spot selfi yang unik dan asyik. Wisman, dan wisnus "serasa" belum ke Kota Yogyakarta bila tidak berkunjung ke Maioboro.
Perempatan di sekitar Kantor Pos, Bank BNI, Bank Indonesia, menjadi "heritage" dengan arsitektur khas Eropa. Tempat parkir yang jauh memaksa para wisatawan harus berjalan kaki, perlu ekstra hati-hati ketika menyeberang jalan (walau ada "zebra cross"), ada kecenderungan pengendara tidak mengurangi kecepatan.
Pemerintah Propinsi DIY dan Kota Yogyakarta bekerjasama untuk melakukan pembenahan, penertiban para PKL, kuliner "lesehan" agar wisman dan wisnus merasa nyaman dan aman, melihat, menikmati, dan merasakan sensasi Malioboro di sore dan malam hari. "Serasa" di luar negeri disediakan tempat duduk, disinari bulan, bintang dan lampu jalan/toko  yang mengasyikkan.
Namun di siang hari panas menyengat, karena tempatnya terbuka, Â pohon perimbun belum tumbuh subur. Lalu lalang kendaraan bermotor dan tidak bermotor , menambah suasana semakin panas, gerah. Â
Suasana yang sensasional di Malioboro juga terganggu sampah berserahan, bau limbah PKL/ lesehan, pedagang keliling, pengamen dan pengemis. Kondisi ini menjadikan slogan Yogyakarta Berhati Nyaman menjadi "hilang" maknanya. Namun demikian pemerintah tidak tinggal diam, berbagai upaya dan pendekatan, sosialisasi, koordinasi antar pemangku kepentingan terus dilakukan.
Hal ini karena komitmen untuk mewujudkan Malioboro menjadi destinasi wisata yang menginspirasi para pengunjungnya. Mengembalikan Malioboro seperti "tempo doeloe", ditengah era milenial, perlu perjuangan, kearifan lokal, dan ketegasan para pimpinan dan petugas. Apalagi  lorong Malioboro menjadi tempat "favorit" para seniman kesohor di negeri ini untuk  "nongkrong", diskusi , berpuisi,  seperti era tahun 1970 an. Sungguh mustahil, dan menjadi tantangan berat.
Yogyakarta, 2 Mei 2018 pukul 13.23