Mohon tunggu...
Sri Rumani
Sri Rumani Mohon Tunggu... Pustakawan - Pustakawan

Rakyat kecil, bukan siapa-siapa dan tidak memiliki apa-apa kecuali Alloh SWT yang sedang berjalan dalam "kesenyapan" untuk mendapatkan pengakuan "profesinya". Sayang ketika mendekati tujuan dihadang dan diusir secara terorganisir, terstruktur, dan konstitusional... Email:srirumani@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Predikat Yogyakarta Sebagai Kota Pendidikan

11 Mei 2018   13:29 Diperbarui: 11 Mei 2018   13:41 3838
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Siswa dan Siswi Tingkat Atas di Jogja merayakan kelulusan (Foto: kompas.com)

Tidak ada yang menyangkal bahwa Yogyakarta mendpata predikat sebagai kota pendidikan, tempat yang ideal untuk menuntut ilmu mulai dari SD sampai perguruan tinggi. Bukan hanya secara kuantitas, tetapi juga secara kualitas. 

Sebutan sekolah dan universitas disebut favorit itu yang menilai selain pemerintah dengan akreditasinya,  juga masyarakat yang melihat, merasakan kualitas lulusannya, dapat  melanjutkan di sekolah lebih tinggi atau diterima di universitas melalui jalur undangan/tanpa tes. 

Setiap acara wisuda yang dihadiri oleh siswa dan orang tua, Kepala Sekolah SMA/SMK dengan bangga menginformasikan nama siswa yang diterima tanpa tes/jalur undangan di PTN favorit. Hal ini tentunya untuk memacu adik-adik kelas agar belajar lebih giat dan keras untuk menggapai cita-citanya.

Banyaknya lulusan SMA/SMK yang dapat diterima di PTN favorit menjadi indikator proses belajar mengajar berjalan baik. Artinya ada kerjasama yang solid antara orangtua siswa, guru, dan peserta didik. 

Kondisi ini biasanya sudah dibangun sejak di di play group, TK yang berlanjut di SD, SMP, SMA. Orang tua yang menyadari pentingnya pendidikan sebagai bekal hidupnya kelak, akan memilihkan tempat belajar untuk anak-anaknya dengan “lingkungan yang baik dan sehat”, bukan eksklusif. Lingkungan yang baik dan sehat, dibentuk ketika di sekolah sejak dini, mengajarkan kepada peserta didik bukan sekedar untuk cerdas secara intelektual , namun juga cerdas secara spiritual dan emosional. Ada keterpaduan dan keseimbangan antara ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik.

Pengalaman ketika anak di SD, Kepala Sekolah sangat memperhatikan 3 (tiga) ranah ini, sehingga sejak jam 06.00 para guru dan kepala Sekolah sudah siap di depan sekolah, membiasakan siswanya bersalaman dengan orang tua dan para guru sebelum pelajaran di mulai. Pemandangan ini penulis rasakan selama anak-anak mengenyam pendidikan di SD, bahkan Kepala Sekolah dan para guru membukakan dan menutup pintu mobil  orang tua siswa adalah hal biasa.  

Hubungan harmonis antara orang tua dengan Kepala Sekolah dan para guru selalu terjalin komunikasi efektif. Bahkan setiap tiap Minggu pagi jam 06.00 ada pengajian dilanjutkan dengan konsultasi perkembangan belajar siswa. 

Hasilnya anak-anak dapat melanjutkan di SMP, SMA dan PTN favorit. Kondisi ini membuktikan bahwa peserta didik itu seperti kertas putih, yang bisa dibentuk oleh lingkungan terdekatnya, yaitu orang tua, guru, dan lingkungannya dimana dia berada.  

Orang tua yang memberi dukungan fasilitas dan doa,dan guru membekali 3 (tiga) ranah pendidikan, akan berbuah manis di terima di PTN yang terkenal, tertua dan ternama yaitu Universitas Gadjah Mada (UGM). Selain itu masih ada PTN di Yogyakarta seperti UNY, ISI, UIN Suka, dan UPN Veteran Yogyakarta. Masih ada PTS yang juga menjadi pilihan  para lulusan SMA/SMK yatu Universitas Islam Indonesia (UII), Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Universitas Atmajaya Yogyakarta (UAY), Universitas Sanata Dharma (USD), Universitas Ahmad Dahlan (UAD), Universitas Teknologi Yogyakarta (UTY), Universitas Respati Yogyakarta, Universitas Aisyiah Yogyakarta, Sekolah Tinggi Pariwisata Ambarukmo (Stipram), Sekolah Tinggi Teknologi Adisutjipto (STTA).

Berdasarkan data dari Dinas Pendidikan Propinsi DIY, jumlah universitas perguruan tinggi ada 106 buah, terdiri dari Universitas 19, Akademi 41, Sekolah Tinggi 34, Institut 5 dan Piliteknik 7. Sedang untuk tingkat Sekolah TK 209, SD 175, SLB 9, SMP 58, SMA 47, SMK 31 ( http://www.pendidikan-diy.go.id). 

Jumlah itu adalah perguruan tinggi negeri dan swasta, serta sekolah negeri dan swasta yang khusus berada di Kota Yogyakarta. Bila untuk keseluruhan Propinsi DIY, meliputi Kota Yogyakarta, Kabupaten Bantul, Gunung Kidul, Kulon Progo dan Sleman, jumlah Sekolah TK 2.073, SD 1.866, SLB 67, SMP 420, SMA 165, SMK 203.

Sebutan kota Yogyakarta sebagai kota pendidikan, kota pelajar, layak disandang oleh kota yang juga mempunyai sebutan sebagai kota budaya, kota perjuangan, kota wisata, menyandang ibu kota Indonesia tanggal 4 Januari 1946 sampai 27 Desember 1949. 

Kota Yogyakarta juga sebagai miniatur Indonesia, karena para mahasiswa yang menuntut ilmu berasal dari berbagai penjuru wilayah yang ada di Indonesia. Kondisi ini tentu sebagai anugerah sekaligus masalah khususnya yang berkaitan dengan perubahan lingkungan sosial.

Dikatakan sebagai anugerah karena dapat meningkatkan pendapatan asli daerah dengan munculnya berbagai kegiatan ekonomi yang menunjang kebutuhan para mahasiswa (kos-kosan, properti, peralatan anak kos, warung makan, laundry, foto copy dan penjilidan, toko buku, stationary, cafe, dan lain-lain). Seperti pepatah mengatakan:”ada gula ada semut” artinya orang akan tertarik untuk datang ke tempat yang menjanjikan kesejahteraan. 

Pesatnya pertumbuhan dan pertambahan penduduk urban dan mahasiswa yang menuntut ilmu telah merubah lahan pertanian menjadi perumahan. Akibatnya harga tanah untuk rumah tinggal maupun tempat bisnis di Yogyakarta semakin tidak terkendali.

Disisi lain sebutan kota pendidikan menimbulkan masalah kepadatan lalu lintas, karena jumlah kendaraan meningkat terus, yang tidak sebanding dengan ruas jalan tetap. Akibatnya terjadi macet di berbagai ruas jalan, yang didominasi oleh kendaraan bermotor mahasiswa dan pelajar. 

Kota sepeda semakin pudar, seiring dengan jumlah kendaraan bermotor. Jalur sepeda yang ketika walikota Herry Zudianto, SE mendapat tempat khusus, setiap traffic light, disediakan tempat khusus untuk pesepeda (orang yang naik sepeda) dengan kotak di cat hijau dan gambar sepeda sudah dimanfaatkan para pemotor.

Selain itu dari segi keamanan, ketertiban, keramah tamahan, sopan santun dan sikap kegotong royongan, budaya lokal, mulai terkontaminasi dan terdegradasi oleh perubahan dan tuntutan zaman yang serba digital. 

Anak-anak milenial yang sangat piawi dalam berteknologi, dikhawatirkan sudah tidak mengenal “budaya lokal” yang mempunyai nilai-nilai kearifan, kebijakan, kerukunan, kekeluargaan, persatuan dan kesatuan. Sebagai Daerah Istimewa Yogyakarta, sesuai dengan UU No.13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Yogyakarta mendapat dana khusus dari APBN sebesar  satu (1) tririun untuk tahun 2018, sedang tahun 2017 sebesar Rp 800.000.000,-. Maksud danais ini salah satunya dapat dimanfaatkan untuk melestarikan budaya yang ada di Yogyakarta.

Yogyakarta, 11 Mei 2018 pukul 13.24

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun