Sebutan kota Yogyakarta sebagai kota pendidikan, kota pelajar, layak disandang oleh kota yang juga mempunyai sebutan sebagai kota budaya, kota perjuangan, kota wisata, menyandang ibu kota Indonesia tanggal 4 Januari 1946 sampai 27 Desember 1949.
Kota Yogyakarta juga sebagai miniatur Indonesia, karena para mahasiswa yang menuntut ilmu berasal dari berbagai penjuru wilayah yang ada di Indonesia. Kondisi ini tentu sebagai anugerah sekaligus masalah khususnya yang berkaitan dengan perubahan lingkungan sosial.
Dikatakan sebagai anugerah karena dapat meningkatkan pendapatan asli daerah dengan munculnya berbagai kegiatan ekonomi yang menunjang kebutuhan para mahasiswa (kos-kosan, properti, peralatan anak kos, warung makan, laundry, foto copy dan penjilidan, toko buku, stationary, cafe, dan lain-lain). Seperti pepatah mengatakan:”ada gula ada semut” artinya orang akan tertarik untuk datang ke tempat yang menjanjikan kesejahteraan.
Pesatnya pertumbuhan dan pertambahan penduduk urban dan mahasiswa yang menuntut ilmu telah merubah lahan pertanian menjadi perumahan. Akibatnya harga tanah untuk rumah tinggal maupun tempat bisnis di Yogyakarta semakin tidak terkendali.
Disisi lain sebutan kota pendidikan menimbulkan masalah kepadatan lalu lintas, karena jumlah kendaraan meningkat terus, yang tidak sebanding dengan ruas jalan tetap. Akibatnya terjadi macet di berbagai ruas jalan, yang didominasi oleh kendaraan bermotor mahasiswa dan pelajar.
Kota sepeda semakin pudar, seiring dengan jumlah kendaraan bermotor. Jalur sepeda yang ketika walikota Herry Zudianto, SE mendapat tempat khusus, setiap traffic light, disediakan tempat khusus untuk pesepeda (orang yang naik sepeda) dengan kotak di cat hijau dan gambar sepeda sudah dimanfaatkan para pemotor.
Selain itu dari segi keamanan, ketertiban, keramah tamahan, sopan santun dan sikap kegotong royongan, budaya lokal, mulai terkontaminasi dan terdegradasi oleh perubahan dan tuntutan zaman yang serba digital.
Anak-anak milenial yang sangat piawi dalam berteknologi, dikhawatirkan sudah tidak mengenal “budaya lokal” yang mempunyai nilai-nilai kearifan, kebijakan, kerukunan, kekeluargaan, persatuan dan kesatuan. Sebagai Daerah Istimewa Yogyakarta, sesuai dengan UU No.13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Yogyakarta mendapat dana khusus dari APBN sebesar satu (1) tririun untuk tahun 2018, sedang tahun 2017 sebesar Rp 800.000.000,-. Maksud danais ini salah satunya dapat dimanfaatkan untuk melestarikan budaya yang ada di Yogyakarta.
Yogyakarta, 11 Mei 2018 pukul 13.24
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H