Namun pasal 4 menyebutkan bahwa:"dalam pemakaian busana tradisional itu ada larangan bagi pegawai laki-laki yaitu baju surjan motif kembang/surjan sembagi, semua jenis kain/jarik kebesaran yang dipakai Sultan/Gusti Kanjeng Ratu, dan Adipati/Gusti Kanjeng Bendara serta Pangeran berdasarkan dawuh dalem, lontong/sabuk cinde, kamus/epek bahan dari bludru dibludir dengan gim/benang emas. Bagi pegawai perempuan larangan memakai baju kebaya tangkepan bludiran, semua jenis kain/jarik kebesaran yang dipakai Sultan/Adipati/Gusti Kanjeng Ratu dan Adipati/Gusti Kanjeng Bendara".
Busana tradisional tersebut dipakai pada upacara berdirinya Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat tanggal 13 Februari, upacara hari pengesahan UU No.13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta tanggal 31 Agustus, upacara tanggal berdirinya Pemerintah Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta, upacara peringatan Maulud Nabi Muhammad SAW, upacara Hari Raya Idul Fifri, dan Hari Raya Idul Adha.
Peraturan Gubernur Propinsi DIY ini selain mengandung kearifan budaya lokal dengan busana tradisional  Jawa Yogyakarta, juga tidak memaksakan memakai konde gelung tekuk bagi Pegawai muslimah, namun diperbolehkan memakai jilbab. Artinya Gubernur Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X sangat arif dan bijaksana, memberi pengayoman kepada rakyatnya. Bahwa konde memang tidak bisa disamakan dengan jilbab, karena semua mempunyai dasar persepsi yang berbeda.
Yogyakarta, 6 April 2017 pukul 18.32
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H